oleh

MEMBACA (BAHASA) DI BULAN BAHASA

-OPINI-130 Dilihat

Oleh : M. Guntur Alting

———

“MENGAPA kita repot mengurus bahasa Indonesia?”. Sebuah pertanyaan provokatif dari Goenawan Muhammad ketika mengawali esai-nya dalam “Buku Bahasa”. Berisi kumpulan esai “bahasa” Majalah Tempo.

Buku ini saya pinjam dari perpustakaan kampus dua hari lalu. Secara garis besar terdiri dari empat bagian; pertama tentang Bahasa, ke-dua tentang lingustik, bagian tiga Bahasa dan Budaya.

Buku ini sangat memperkaya pespektif kita tentang Bahasa. Memuat kumpulan esai. Penulis ; Amarzan Loebis, Ayu Utami, Danarto, Kridalaksana, Hasan Amin, Daniel Parera, Nirwan Dewanto, Sapardi Djoko Damono dan Syu’bah Asa dan Goenawan Muhammad.

Baca Juga  Menjaga Independensi Pers dari Intervensi

Sang editor buku Leila S Chodori dan Bambang Bujono memulai pengantarnya dengan apik untuk menggugah kita. Bahwa Generasi muda masa kini mungkin tak merasakan pentingnya mensyukuri, bahwa kita memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar etnik di negeri ini.

Mungkin juga kita tak cukup menyadari bahwa penduduk India di bagian utara (yang berbahasa Urdu) dan selatan (yang berbahasa Hindi) misalnya, berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Belum lagi berbagai etnik di negara-negara Afrika yang akhirnya “mencari jalan tengah” dengan menggunakan bahasa Inggris.

Kita mungkin tak menyadari, bahkan tak peduli bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang pernah di jajah yang menggunakan bahasa Indonesia dalam buku pendidikan dan teks resmi pemerintah dan media.

Baca Juga  SOSOK LELAKI (ITU) ADALAH 'PAK ZULHASAN"

Jangan lupa, sastrawan dari negara berkembang cenderung menggunakan bahasa Inggris, Prancis, atau Spanyol dalam karyanya.

Memang benar bahwa karya sastra, selain karena mutunya, menjadi lebih mudah menembus ke ting-kat sastra dunia.

Namun Indonesia, yang sudah memutus-kan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa pendidikan, dan komunikasi, memiliki kesempatan mengembangkan bahasa bukan hanya sehari-hari, melainkan juga melalui karya para sastrawan yang menjelajahi setiap fungsi dan kekuatan kata.

Baca Juga  Pembangunan Berbasis Inovasi dan Ekonomi Pancasila

–000–

Tampaknya kita perlu mengingat kembali bagaimana bahasa Indonesia akhirnya terbentuk.

Pada mulanya bahasa Melayu hidup dan berkeliling di semenanjung Melayu, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sumatera.

Bahasa ini merebak ke seluruh Nusantara dibawa melalui komunikasi para pedagang, hingga akhirnya lama-kelamaan menjadi bahasa pergaulan.

Sebelum abad 19, surat kabar lazimnya berbahasa Cina (karena etnis inilah si empunya penerbit-an).

Tapi saat itu lahirlah surat kabar berbahasa Melayu. Dari sejarah inilah dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, di Jakarta, yang dinamakan “Soempah Pemoeda”, kemudian berkumandang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed