oleh

MEMBACA (BAHASA) DI BULAN BAHASA

-OPINI-166 Dilihat

Dan Ia lanjutkan dengan ucapan “ternyata tak selalu gampang memahami kata-kata Indonesia”.

Justru serangakaian peritiwa budaya ini, sekecil apapun-yang memungkinkan lahirnya puisi, prosa atau komedi.

Tempo, baik melalui rubrik lain, maupun rubrik bahasa! Tempo mencoba berperang melawan singkatan dan akronim dan membawa ungkapan dan kalimat klise tersebut.

—000–

Jika kita mendukung kata-kata ahli linguistik Noam Chomsky, bahwa perbedaan dalam bahasa dan keragaman budaya bisa dianggap sebagai sumber kegairahan yang menghasilkan kreativitas, kita harus percaya bahwa bahasa Indonesia sungguh kaya dengan serapan berbagai bahasa daerah.

Bahasa Indonesia memiliki karakter yang begitu terbuka hingga mudah menerima dan “bergaul dengan berbagai serapan dari bahasa daerah (antara lain Jawa, Bali) maupun asing (Arab, Belanda, Inggris, Portugis).

Baca Juga  Reformasi Jilid 2: Prabowo segera ambil alih kepemimpinan Polri

Dalam esai Putu Setia memperlihatkan sungguh variatif-nya bahasa daerah kita (di luar bahasa Jawa) yang bisa dengan santai bergabung, “bergurau”, dan bersatu dalam sebuah kalimat Indonesia.

Kekayaan itulah yang seharus nya dirayakan, seperti yang dimaksud oleh Noam Chomsky, karena kebahagiaan itu terjadi tatkala kita berhasil me-manfaatkan keragaman itu ke dalam bahasa kita.

Namun memperkaya bahasa Indonesia dengan berbagai bahasa daerah maupun asing tak berarti lantas kita menggantikan kata Indonesia dengan bahasa Inggris hanya karena ingin bergaya.

Jika kita sudah memiliki padan-an kata dalam bahasa Indonesia, tentu kita harus me-rawatnya dengan menggunakannya terus-menerus, bukan dengan menghapusnya dan menggunakan bahasa asing.

Baca Juga  APBD Maluku 2025, Efisiensi Pulau, Dari Dilema Belanja Hibah

–000–

Di sisi lain, Goenawan Muhammad menyebutkan bahasa Indonesia mengandung paradoks yang sangat berharga. Di satu pihak ia bisa mempersatukan. di lain pihak ia mendukung radikalisasi kebhinekaan. Dari penggunanya bahasa ini dipakai hampir semua orang Indonesia, tapi dari sejarahnya ia bukan bahasa “mayoritas”.

Bahkan bahasa Indonesia adalah bahasa pelbagai minoritas–sebab di kepulauan ini tiap satuan “budaya” sebenarnya minoritas. Bahasa ini punya sejarah yang penting di Riau, tapi sejarahnya juga dibentuk di ribuan pasar di Nusantara.

Dalam proses itu, apa beda antara “asing” dan “asli”, “rendah” dan “tinggi”, “pinggir” dan “pusat? Tak pernah ada kata Gunawan Muhammad.

Ikhtiar untuk membuatnya “murni, seperti yang dicoba pemerintah kolonial Belanda melalui sekolah dan Balai Pustaka dengan menghalau bahasa “Melayu Pasar” atau”Tionghoa”) gagal. Tulisan dan pidato Bung Karno yang memukau orang itu justru banyak dipengaruhi bahasa yang tak murni itu.

Baca Juga  Joko Widodo di anggap menghalangi eksekusi putusan Inkrah Silvester

Walhasil, kata Gunawan Muhammad : ungkapan “bahasa menunjukan bangsa” kali ini baginya berarti bahasa Indonesia memang menunjukkan bangsa ini.

Manusia kepulauan yang merantau, berpindah, berniaga, membentuk kerajaan besar kecil yang tak pernah panjang umur, mendirikan kota tanpa tembok, menganut agama yang berbeda-beda.

Dengan kata lain, sebuah bangsa yang tak mengenal segregasi, sebuah bangsa yang menyukai gado-gado, Itu saja membuat kita selalu bersyukur, kita masih punya bahasa Indonesia.***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *