oleh

MEMBACA (BAHASA) DI BULAN BAHASA

-OPINI-142 Dilihat

Sejak itu dua arus utama yang sudah sejak awal abad 20 bersaing: antara bahasa Melayu tinggi dan rendah. Sejak itu bahasa Indonesia terproses oleh persaingan ini sampai saat ini.

Tentu saja kini yang bersaing bukan lagi Melayu rendah dan tinggi, melainkan bahasa baku dan bahasa pergaulan, dan proses itu pun melibatkan pengambilan kata dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Kata dan kaidah berguguran-maka sekian ribu kata di kamus bahasa Indonesia pun jarang dipakai lagi. Di sisi lain, banyak juga kata pergaulan yang “ditabukan” dalam bahasa baku akhirnya diterima juga dalam bahasa sehari-hari.

–000–

Buku ini merupakan wujud dari rasa hormat Tempo pada bahasa Indonesia, dan inilah yang mendorong Tempo, ikut terus-menerus merawat dan memberikan perhatian penuh pada perkembangan bahasa Indonesia.

Baca Juga  PPP, Partai Islam Yang Ditelantarkan

Sejak Oktober 2005, majalah Tempo melahirkan sebuah rubrik bernama “Bahasa!” dengan keinginan memelihara, mencatat, mendebat, mengevaluasi, menimbang, mempertanyakan, menggugat berbagai perkembangan yang terjadi pada bahasa Indonesia.

Tempo menyadari bahwa majalah berita yang berurusan dengan tumpukan informasi, fakta, dan pendapat, hanya bisa mengindari kesalahpahaman dengan menggunakan bahasa yang jernih.

Majalah Tempo, kalaupun tak yang pertama, termasuk sedikit media di akhir 1970-an yang sudah mempunyai redaktur bahasa. Redaktur inilah yang menjadi penyaring yang berkaitan dengan bahasa, sebelum majalah sampai ke pembaca.

Redaktur bahasa adalah gerbang terakhir yang mengecek (lagi) hal-hal yang berkaitan dengan tanda baca, ejaan, nama jabatan, dan bahkan menanyakan kembali kepada editor atau penulis yang bersangkutan jika logika dalam tulisan itu kacau.

Baca Juga  WAJAH PETANI SURAM, DITENGAH PESTA TAMBANG TIONGKOK

Artinya, sebuah artikel Timpo akan lebih “enak dibaca dan mudah dipahami” pembaca apabila sudah melewati penyuntingan oleh beberapa kepala, termasuk penyuntingan bahasa.

Di Tempo, sang pelopor berbahasa yang enak dibaca dan akurat” itu, selain pendiri Tempo Goenawan Mohamad yang tak bosan memperbaiki bahasa, adalah Slamet Djabarudi (almarhum).

Slamet adalah seorang wartawan yang rela menggantungkan kamera dan tape recorder-nya beralih menekani kamus dan mencermati tulisan para wartawan. Buku ini, antara lain, adalah kenangan kepada Slamet

Baca Juga  Menjaga Independensi Pers dari Intervensi

Tentu saja, seperti kata Leila Chodori. Tempo tidak berpretensi membakukan satu-satunya cara berbahasa yang benar, karena hal itu mustahil.

Bahasa bukan hanya menulis surat resmi atau keputusan pemerintah yang yang tertib, kami menyadari dalam bahasa, selalu ada “penyimpangan”, penjelajahan, eksperimen, dan bahkan permainan kata dan kalimat.

Misalnya yang menarik bagi saya adalah di bagian epilog, Gunawan Muhammad kembali menggugah kita dengan esai-nya berjudul “Bingung” dimana kata Goenawan , “ternyata tak muda berbahasa Indonesia”.

Ia memberi contoh : misalnya ada yang bertanya

“Meangapa kita sebut kantor A mengurus “perkebunan” sedangkan kantor B “kehutanan” (bukan “perhutanan ?”) ?

Ia sendiri tak dapat menjawab.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed