Pertumbuhan ekonomi 32 persen itu ternyata ditopang 60 persen lebih oleh dua sektor besar: pertambangan dan pengolahan industri. Artinya, jika harga nikel turun di pasar global atau produksi melambat, seluruh struktur ekonomi Maluku Utara bisa goyah seketika.
Kepala BPS Maluku Utara bahkan mengingatkan secara terang: jangan bangga terlalu dini. Pertumbuhan berbasis tambang ibarat bunga api — menyala terang, tapi cepat padam. Ketika cadangan mineral habis, daerah bisa kembali ke titik nol.
Karena itu, Gubernur Sherly Tjoanda harus segera menggeser fokus dari “berburu di kebun binatang” menuju “berkebun di tanah sendiri.”Artinya, jangan terjebak dalam euforia angka statistik dan pujian publik. Saatnya mengembangkan ekonomi yang tumbuh dari bawah: pertanian modern, perikanan berkelanjutan, industri olahan pangan, dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal. Sektor-sektor ini tidak hanya memberi nilai tambah, tetapi juga membuka lapangan kerja luas bagi masyarakat.
Kebijakan hilirisasi yang diwarisi dari era Jokowi dan kini dilanjutkan oleh Presiden Prabowo adalah fondasi penting, tetapi fondasi tanpa bangunan di atasnya akan sia-sia. Pemerintah daerah harus menjadi arsitek pembangunan yang mampu menata ulang orientasi ekonomi dari yang bergantung pada sumber daya alam menuju yang bertumpu pada produktivitas manusia.
Komentar