Ini bukan soal politik, ini soal keberanian mengambil tanggung jawab ketika hukum tak lengkap bicara.
Sikap Bassam Kasuba patut diapresiasi karena memperlihatkan etos pemerintahan yang disiplin, berani, dan berbasis pada prinsip rule of law. Ia tidak menjadikan hukum sebagai tameng politik, tetapi sebagai panduan moral dan administratif untuk mencegah kekosongan kekuasaan.
Dalam konteks etika pemerintahan, ini adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan: menjalankan kewenangan bukan demi aman, tetapi demi benar.
Lebih dari sekadar tindakan administratif, keputusan Bassam Kasuba adalah pesan moral kepada birokrasi dan dunia hukum daerah: bahwa pemimpin daerah tidak boleh takut bertindak ketika hukum diam.
Karena yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan, tapi keberlanjutan pemerintahan dan kepastian hak masyarakat desa.
Editorial ini menegaskan bahwa di era di mana banyak kepala daerah memilih aman di balik tafsir hukum, Bassam Kasuba memilih jalan konstitusional yang berani. Ia memahami bahwa kepemimpinan bukan sekadar tunduk pada teks hukum, melainkan juga menegakkan semangat keadilan di atas hukum itu sendiri.
Dalam bahasa hukum, ini disebut the living law — hukum yang hidup, diterapkan untuk melayani masyarakat, bukan menjeratnya. Dan dalam bahasa kepemimpinan, ini disebut tanggung jawab moral seorang pemimpin yang tidak sekadar berkuasa, tetapi menjaga keberlangsungan negara dari bawah.
Komentar