Inilah yang menjadi alasan fundamental kebijakan Menteri Keuangan Purbaya memangkas alokasi TKD sejumlah daerah. Ia bukan sedang menghukum, tetapi mengoreksi pola fiskal yang boros dan tidak produktif. Negara membutuhkan efektivitas, bukan alasan-alasan administratif untuk menutupi stagnasi pembangunan di tingkat lokal.
Sayangnya, sebagian kepala daerah masih lebih cepat memprotes daripada membenahi. Padahal, pemangkasan TKD bisa dibaca sebagai alarm dini atas kegagalan disiplin fiskal daerah. Ketika anggaran publik lebih banyak mengendap di bank daripada berputar dalam ekonomi rakyat, maka pemerintah daerah bukan sedang mengelola keuangan, melainkan menimbun potensi.
Gubernur Sherly seharusnya menggunakan momentum ini untuk menunjukkan kepemimpinan yang berani melakukan reformasi pengelolaan keuangan daerah. Mulai dari memperketat perencanaan anggaran berbasis kinerja, memangkas belanja tidak produktif, hingga memperkuat tata kelola digitalisasi fiskal agar setiap rupiah dapat dilacak hasil dan manfaatnya bagi masyarakat.
Jika keberpihakan pada rakyat memang menjadi semangat protes tersebut, maka pembuktiannya bukan di ruang konferensi pers, tetapi di laporan realisasi anggaran dan indikator ekonomi riil. Rakyat Maluku Utara lebih membutuhkan belanja publik yang efektif daripada wacana politik anggaran.
Komentar