oleh

EDITORIA : SPSI Malut Kecam Premanisme PT. MAI: Mobil Warga Sagea Dirusak, Cermin Buram Industri Tambang Nasional

-Editorial-45 Dilihat

Kasus PT. MAI di Sagea menambah panjang daftar konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal di Indonesia. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan, lebih dari 250 konflik agraria dan sosial di sektor pertambangan terjadi sepanjang lima tahun terakhir, terutama di wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku Utara.

Bentuk konfliknya hampir selalu serupa: penggunaan lahan tanpa musyawarah, perusakan lingkungan, hingga kriminalisasi warga yang menolak aktivitas tambang.
Di Kalimantan Timur, misalnya, beberapa perusahaan batubara dilaporkan menutup akses jalan warga. Di Sulawesi Tengah, warga Morowali menuding perusahaan tambang mempekerjakan aparat keamanan untuk membubarkan aksi protes masyarakat.

Baca Juga  Catatan Demokrasi : Aksi Demonstrasi Bubarkan DPR RI—Momentum Reflektif Demokrasi Seutuhnya.

Kasus Sagea menjadi potret mikro dari persoalan makro: ketimpangan kuasa antara korporasi dan masyarakat lokal. Negara sering kali absen atau bahkan berdiri di sisi yang salah—mengamankan kepentingan modal ketimbang keadilan sosial.

Tanggung Jawab Negara yang Abai

Menurut pengamat hukum lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Dr. Malik La Dahiri, SH., MH, praktik-praktik represif seperti ini menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum.

Baca Juga  TAJUK EDITORIAL—Ternate: Titik Balik Sanitasi untuk Semua Pulau

“Negara harus hadir. Ketika perusahaan lebih berkuasa dari hukum, maka di situlah demokrasi kehilangan makna. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal hak konstitusional warga untuk hidup aman dan bermartabat,” ujarnya saat dimintai pendapat secara terpisah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *