Jika kita ingin membandingkan Gaji seorang Pejabat yang berkisar Rp 58–60 juta per bulan, di luar fasilitas negara dan anggaran operasional. Sementara UMR pekerja hanya Rp 2,1–5 juta tergantung Upah Minimun Provinsi/Kabupaten/Kota. Artinya, seorang pejabat bisa membawa pulang 15–25 kali lipat lebih banyak dari buruh yang membayar PPN di setiap nasi bungkus, rokok, dan lainnya.
Di Jerman, rasio gaji menteri dengan pekerja minimum sekitar 8 kali. Di Jepang hanya 7 kali. Namun di Singapura, yang terkenal “berani” menggaji tinggi pejabat, perbedaannya mencapai 25 kali. Bedanya, rakyat Singapura melihat hasilnya, transportasi efisien, pelayanan publik prima, dan korupsi hampir nol. Tapi lihat di Maluku Utara, para pejabat memiliki dermaga sendiri, rakyat belikan transportasi sendiri, tidak ingin bergabung dengan rakyatnya, ini cara-cara mempertontonkan kemewahan dibalik timpang social yang makin melebar.
Ironisnya, rakyat kecil sering menjadi pembayar pajak paling konsisten. Mereka mungkin tidak tercatat di basis pajak penghasilan, tapi setiap kali membeli beras, bensin, rokok, atau pulsa, mereka membayar PPN 11% dan cukai. Sementara itu, sejumlah perusahaan besar dan individu kaya lihai mencari celah tax avoidance.
Indonesia, dengan rasio pajak sekitar 12% dari PDB, masih jauh tertinggal dari negara maju seperti Jerman (39%) atau Jepang (31%). Namun, beban terasa berat di level rakyat miskin, yang nyaris tak pernah melihat hasil nyata dari kontribusinya.
Bagaimana Pajak Dihabiskan. Di negara maju, pajak yang tinggi berbanding lurus dengan layanan sosial. Rakyat Jerman menerima pendidikan murah, transportasi publik efisien, dan jaminan kesehatan universal. Di Jepang, pajak menopang perawatan lansia dan infrastruktur berkualitas.
Di Indonesia, lebih dari 60% APBN habis untuk belanja rutin birokrasi, gaji, tunjangan, perjalanan dinas, hingga rapat-rapat. Porsi belanja publik produktif, pendidikan, kesehatan, perlindungan social, sering kalah prioritas. Tak heran rakyat merasa “membayar pajak tanpa imbali hasil yang layak.”
Jurang Ketidakadilan yang Melebar Adalah Konsekuensi yang jelas terpampang, ketimpangan melebar. Data Bank Dunia menunjukkan rasio gini Indonesia bertahan di kisaran 0,38–0,40, artinya kesenjangan relatif tinggi. Rakyat berjuang dengan harga pangan dan biaya hidup, sementara pejabat sering muncul dengan gaya hidup yang tak tersentuh realitas warganya.
Lebih jauh, ketidakadilan ini menumbuhkan defisit kepercayaan. Mengapa rakyat harus taat membayar pajak jika merasa uangnya hanya menghidupi birokrasi, bukan membangun masa depan?
Saatnya Menutup Jurang Ketimpangan antara gaji pejabat, beban pajak rakyat, dan kualitas pelayanan publik adalah bom waktu. Rakyat rela membayar pajak hanya jika merasa dihargai, bukan dimanfaatkan.
Maka, reformasi tak cukup sekadar menaikkan tarif atau memperluas basis pajak. Yang lebih mendesak adalah reformasi moral dan etika pejabat: transparansi penggunaan pajak, pemangkasan belanja birokrasi, dan prioritas untuk pelayanan publik.
Karena pada akhirnya, rakyat tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin kontrak sosial ditepati: pajak yang dibayar harus kembali sebagai kesejahteraan, bukan sekadar kenyamanan kursi pejabat.
Pajak dan Kemewahan Pejabat, Ironi Disparitas

Komentar