Koperasi Merah Putih: Serius atau Seremonial? Prabowo tampaknya ingin membalikkan keadaan dengan mengusung Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai “jembatan distribusi” antarpulau dan alat pemutus rantai ekonomi predatorik. KMP bukan sekadar koperasi model lama yang sibuk di ruang seminar atau modul kuliah ekonomi Pancasila. KMP adalah senjata rakyat, begitu narasinya dibangun, untuk mendistribusikan pangan, energi, dan kebutuhan pokok ke seluruh wilayah dengan harga yang adil dan merata.
Apakah ini realistis?
Jika negara hadir melalui KMP sebagai aktor baru dalam distribusi logistik, maka bisa tercipta pasar yang lebih kompetitif, transparan, dan berkeadilan, bukan pasar penuh vampir yang menyedot keuntungan dari selisih harga ekstrem.
Melawan Vampir Ekonomi Lewat Kebijakan Spasial. Disparitas harga bukan cuma soal ekonomi, tapi juga kegagalan politik distribusi dan keadilan spasial. Ketika petani di Halmahera menjual kopra dengan harga rendah, tapi harus membeli sembako tiga kali lipat lebih mahal dari Jakarta, maka itu bukan sekadar urusan biaya angkut. Itu adalah pengkhianatan terhadap Pasal 33 UUD 1945.
Presiden Prabowo melalui pidatonya, secara tak langsung sedang menggugat ekonomi kapitalistik yang terlalu lama menjadi dasar kebijakan ekonomi nasional. Ia menyerukan koreksi. Ia menantang oligopoli. Ia menyentil elite pasar. Dan ia menunjuk koperasi sebagai jalan keluar.
Komentar