“.Sebelumnya atas nama media Pikiran Ummat, saya mengucapkan “DIRGAHAYU KEMERDEKAAN RI KE 80 17 AGUSTUS 1945-2025.Semoga Indonesia tetap berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur dibawah lindungan dan ridho Allah SWT”
Agama mengajarkan nilai-nilai moral universal—kejujuran, kasih sayang, keadilan—yang menjadi fondasi etika pribadi dan sosial. Dalam kerangka perkembangan moral, teori Kohlberg menunjukkan bahwa manusia melewati tahapan-tahapan moral; pendidikan agama sejak dini dapat mempercepat dan memperkuat proses itu dengan memberi pedoman moral yang jelas. Jika nilai-nilai religius ini disubstitusi ke dalam spirit kemerdekaan, upacara dan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia memiliki potensi strategis untuk membangun jiwa kebangsaan yang religius, berkarakter, jujur, dan adil.
Tepat pada 17 Agustus 2025 bangsa kita merayakan HUT ke-80; ini adalah momen refleksi yang sudah diulang puluhan kali sejak Proklamasi 1945. Namun timbul pertanyaan kritis: apa makna substantif yang kita petik dari 79-80 ritual HUT? Apakah peringatan tahunan itu benar-benar menjadi alat pembentukan karakter dan ketahanan moral bangsa, atau sekadar seremoni serentak tanpa dampak nyata terhadap kualitas hidup berbangsa?
Peringatan HUT RI memang merupakan agenda kenegaraan yang diatur secara formal, seperti pedoman SE Mensesneg tahun 2025 yang mengatur rangkaian acara. Tetapi formalitas saja tidak cukup. Di tengah maraknya korupsi, penyalahgunaan narkoba, pelemahan moral publik, dan perilaku amoral yang kian nampak, seremonial yang khidmat harus mampu menyentuh relung jiwa kolektif dan menumbuhkan komitmen praktis terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Saya berargumen bahwa salah satu jalan untuk memboboti ulang peringatan HUT RI adalah dengan mengintegrasikan dimensi religius secara inklusif dan konstitusional. Bukan sekadar simbol, melainkan ritual yang mampu menumbuhkan kesadaran moral dan solidaritas kebangsaan. Beberapa gagasan konkret yang layak dipertimbangkan:
Komentar