Di tengah tekanan global atas ketahanan pangan, meningkatnya ketergantungan pada impor, dan menurunnya minat generasi muda terhadap sektor agraria, Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan mengambil langkah yang tidak hanya strategis, tetapi juga simbolik. Peluncuran Sekolah Lapang Petani Milenial pada 6 Agustus 2025 menjadi pesan kuat bahwa pertanian bukan sekadar urusan pangan, tetapi juga masa depan—bagi desa, ekonomi daerah, bahkan ketahanan bangsa.
Disampaikan langsung oleh Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba dalam pidato pembukaan angkatan pertama Sekolah Lapang, gagasan ini menjadi lebih dari sekadar program pelatihan. Ia merupakan bentuk rekontekstualisasi pembangunan pertanian—dari pendekatan sektoral menjadi strategi pembangunan manusia dan wilayah. “Hari ini kita tidak hanya bicara soal pertanian, tapi masa depan desa-desa kita,” tegas Bassam.
Sebanyak 100 peserta dari berbagai desa—sebagian besar adalah lulusan perguruan tinggi—dipersiapkan untuk menjadi petani milenial. Mereka bukan sekadar buruh tani modern, tetapi agen perubahan yang diharapkan mampu menggerakkan ekosistem agromaritim di wilayahnya masing-masing. Dalam konteks ini, Halmahera Selatan secara sadar sedang menggeser pusat gravitasi pembangunan ekonomi dari tambang ke ladang.
Dari Lahan Sempit, Potensi Besar
Apa yang ditawarkan Sekolah Lapang ini bukan utopia. Dalam pidatonya, Bupati memberikan contoh konkret: lahan sempit kurang dari satu hektare bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp 60 juta hanya dari satu musim panen tomat dan rica. Angka ini bukan sekadar daya tarik ekonomi, tapi validasi bahwa pertanian kecil bisa menjadi tulang punggung ekonomi lokal—asal dikelola dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan pasar.
Komentar