Kembali pada hirarki pemerintahan negara ini kaitannya dengan masalah DOB Sofifi, Pemerintah Kota Tidore kepulauan harus bisa menyesuaikan dengan kepentingan yang lebih besar di atasnya yaitu provinsi namun tetap memperhatikan kepentingan pemerintah Kota Tidore Kepulauan itu sendiri dalam berbagai aspek.
Dalam hal ini hanya ada dua opsi solusi yang paling logis dan realistis yaitu, pertama, “Pemerintah Kota Tidore Kepulauan bersama pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan ke pemerintah pusat cq Kementrian Dalam Negeri/Komisi II DPR RI untuk perubahan UU pembentukan Provinsi Maluku Utara terkait wilayah Ibu Kota Propinsi dalam hal ini memperjelas batas wilayahnya, bisa saja hanya 30% wilayah Oba yang berdekatan dengan Sofifi yang masuk wilayah Ibu Kota lalu perluas wilayah Ibu Kota ke utara sampai ke Dudinga mumpung Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat bersedia menyerahkan kawasan Dudinga tersebut sebagai bagian dari wilayah Ibu Kota provinsi jika diperlukan, dengan demikian 70% wilayah Oba masih berada dibawah administrasi Pemerintah Kota Tidore Kepulauan”.
Opsi solusi kedua “Pemerintah Kota Tidore Kepulauan bersama Pemerintah Provinsi Maluku Utara meloby pemerintah pusat terkait dengan politik anggaran Kota Tidore Kepulauan jika 50% atau semua wilayah Oba masuk ke dalam wilayah ibu kota Provinsi, entah itu otonomi khusus atau apapun namanya yang penting ada kepastian anggaran untuk penjalankan kepemerintahan di wilayah Kota Tidore Kepulauan”, tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu dikawatirkan jika itu disepakati.
Saya pikir besarnya hasil dari sumber daya alam kita yang disumbangkan ke negara ini akan menjadi nilai tawar yang sangat mungkin dipertimbangkan oleh Pemerintah pusat selain jasa Kesultanan Tidore dalam upaya menarik Papua bergabung dengan NKRI. Kesimpulannya bernegara itu butuh kompromi bersama untuk mencari maslahat, bukan baku sigaro goso peda lalu ribut bawa-bawa sejarah. Sofifi jadi kota atau tidak sama skali tidak mempengaruhi eksistensi Kesultanan Tidore.
Zaman dan peradaban suda berubah. Kekaisaran Romawi, Persia, Otoman Turki dll yang sangat tersohor itu kini tinggal nama, tapi nilainya tidak hilang, demikian empat Kesultanan kita yang ada di Maluku Utara juga harus sadar akan perubahan zaman itu, tidak relefan lagi bertahan dengan ego kebesaran di masa lampau, kita hidup di zaman now, keberadaan lembaga adat di empat Kesultanan kita lebih tepatnya menjaga nilai-nilai saja, agar jati diri kita tidak hilang, selebihnya menyangkut hidup rakyat dan masyarakat adalah urusan negara.
Sebagai contoh Iran, sampai detik ini semangat bangsa Persianya masih melekat di hati setiap warga negara Iran, tetapi sistem bernegara mereka sudah berubah, apakah perubahan itu menyebabkan bangsa Iran musnah? Tidak kan? justru mereka makin di segani saat ini.
Komentar