Mukhtar A. Adam, Ketua ISNU Maluku Utara
Saat menulis artikel yang akan dikirim dalam sebuah konferensi para ekonom Indonesia, bertepatan dimalam 17 Agustus, vedio si share tepatnya pukul 01.22 WIT Sherly Tjo Laos, ke WAG, bersama Istri Tito Karnavia, menyelam di Pantai Sulamadaha untuk merayakan 80 Tahun Indonesia Merdeka, vedio itu terasa biasa, jika hanya ditonton sebagai sebuah perayaan, namun jika didalami maknanya terasa menyayat hati di usia senja menjelang seabad, yang konon emas.
Mengukur “Kemerdekaan Pulau Nusantara”
Gubernur dan rombongan Wanita menyelam Indonesia saat menancapkan Merah Putih di dasar laut Pantai Sulamadaha Ternate, gestur simbolik yang mengingatkan kita pada 10 November di Surabaya, atau sebuah gugatan pada laut yang dilintasi bangsa lain, menjadi inspirasi Deklarasi Juanda, laut itu ada pemiliknya, laut itu jalan raya yang menghubungkan anak bangsa dari dermaga ke dermaga. Laut bukan pagar negara, bukan pula pemisah bangsa, bukan pembeda Bahasa, bukan pula pemisah daya beli
Delapan puluh tahun merdeka, kita dihadapkan pada paradoks yang tak nyaman, indeks makro nasional terlihat kinclong, tetapi di banyak pulau berpenghuni, harga kebutuhan pokok masih “menyebrang pakai paspor”, listrik belum 24 jam, internet kerap bertindak seperti musim, datang dan pergi. Jika laut terus diperlakukan sebagai batas, jangan heran kesejahteraan ikut “berbatas-batas”.
Masalahnya sederhana namun sistemik, negara ini tidak bertetangga dengan laut, tetapi menyatu darat dan laut dalam tanah airku, tetapi kebijakan publik kita masih bertetangga dengan peta daratan. Kita punya Dana Desa, Dana Otsus, dan ragam transfer fiskal; namun biaya tetap kepulauan, ongkos menyalurkan layanan dasar ke pulau-pulau kecil sering tak terlihat dalam rumus alokasi, kita seolah lupa Ketika merumuskan kebijakan fiskal sekaan hidup di eropa continental, tempat kita belajar arti fiskal, lupa kalau tanah kita archipelago, yang diperjuangkan anak bangsa.
Akibatnya, ketimpangan wilayah kita bukan sekadar antar-provinsi atau antar-kota, melainkan antar-pulau berpenghuni yang dipisahkan jam pelayaran, cuaca, dan jadwal kapal yang rapuh, karena kelalaian kita merumuskan dimensi teori fiskal berbasis continental, walau hidup dan tumbuh yang menyatukan laut dan darat (Tanah Air), yang menjadi rumusan monumental dalam UNCLOS 82.
Sudah saatnya kita mengukur kemerdekaan secara relevan dengan geografi kita, dari Indeks Kemerdekaan Pulau (IKP) sebuah alat ukur yang menilai apakah setiap pulau berpenghuni benar-benar “merdeka” dalam akses, layanan, dan peluang, agar kita lebih mengenal negara kepulauan dalam rumusan kebijakan fiskal.
Mengapa “Indeks Kemerdekaan Pulau”?
Karena tanpa ukuran yang tepat, kebijakan hanya menebak-nebak. IKP menggeser fokus dari administrasi darat ke realitas maritim: bukan sekadar “berapa banyak” layanan tersedia di kabupaten, tapi seberapa terjangkau dan reliabel layanan itu bagi warga di pulau-pulau yang mereka tinggali.
Komentar