Pekan ini,pekan yang “sibuk”.Biasa,membersihkan rumah ala kadar jelang Ramadhan,ziarah kubur,memenuhi sejumlah undangan hajatan hingga melayat dan berbagi empati dengan keluarga yang berduka.Tapi justru karena hal-hal inilah,muncul inspirasi yang jadi materi tulisan.Ada dua hal yang ingin saya tulis.Ini salah satunya.
Sering di sapa Diman,saya tak menyebut nama aslinya.Dia ipar saya,menikah dengan sepupu saya dari garis ibu.Berusia kisaran 30-an,Diman ini asli Morotai.Di tidore,dia hidup bersama keluarganya,isteri dan satu anak perempuan berusia belia di sebuah rumah sangat sederhana “sekali”,RSSS,istilah teman saya,di kelurahan Tambula,Tidore.Pekerjaannya “driver” Bentor,kendaraan roda dua yang di modifikasi dan di gunakan untuk angkutan penumpang.
Saya iseng menanyakan pendapatannya perhari jika waktunya “ngebentor” sejak pagi hingga sore hari.Dia tak menjawab pasti,tapi dari rautnya terkesan tak sesuai ekspektasi.Dia hanya menyebut setorannya buat majikan 50 ribu rupiah perhari,senbari memberi isyarat bahwa selisihnya cukup untuk makan meski pendapatannya tak sebesar dulu lagi.Diman terbilang telah cukup dalam hitungan tahun punya profesi ini.
Saat terpikir untuk membersihkan pagar depan rumah,saya mengingatnya.Terpikir oleh saya bahwa mereka harus di dahulukan,apapun hasil pekerjaannya.Tiga hari,dengan di “bantu” oleh sang isteri plus di temani buah hati mereka setelah jeda santap siang.Tentu semua ini karena kami berkeluarga,menemani sang suami sekaligus bersilaturrahmi.
Yang menarik dan ingin saya tulis kali ini adalah hal yang menurut saya,sesuatu yang mulai “langka” saat ini.Apa itu?memilih pulang untuk bersantap siang dengan keluarganya di banding memilih bersantap sama-sama saya.Dan ini terjadi dua kali berturut-turut.Saya menelpon untuk mengonfirmasi sang isterinya dan mendapatkan jawaban jika hidangan untuk santap siang buat sang suami memang telah di siapkannya.Rumah mereka berjarak 600 hingga 700 meter dari kediaman saya.
Hal ini saya anggap hal “besar” dan layak di tulis.Sebabnya,tidak pernah saya temukan kasus yang sama selama ini.Umumnya,mereka memilih bersantap di rumah saya,yang bukan keluarga saya sekalipun.
Di Tidore,masyarakat bersantap di luar rumah baik sendiri maupun bersama keluarga memang belum menjadi kebiasaan yang menggejala.Mayoritas lebih memilih berbelanja bahan mentah dan di olah di rumah untuk santap keluarga.Berbeda dengan wilayah tetangga, Ternate,misalnya.Di sana,kebiasaan bersantap di luar rumah bersama keluarga sudah jadi kebiasaan yang menggejala.Pertimbangannya mungkin lebih pada pertimbangan praktis,bukan lagi soal-soal kebiasaan,bahkan “budaya” masyarakat.Apalagi pada masyarakat yang relatif homogen.
Fakta ini pula,yang mungkin jadi salah satu faktor untuk menjelaskan mengapa terlihat ada gejala kelesuan pasar.Kedai-kedai makan terlihat lesu di pertengahan bulan,di samping bahwa potensi belanja terbesar masih terlihat di dominasi oleh aparatur sipil negara [ASN].Artinya,investasinya masih di dominasi oleh Pemerintah Daerah.Investasi swasta relatif lemah.
Tetapi,tentu ini bukan salah Diman.Dia hanya “orang kecil”.Meski ada harapannya bisa bersantap bersama keluarga di luar rumah di jeda waktu tertentu,sangat mungkin itu tak di lakukannya.Sedang di keluarganya saja,dia lebih memilih meminta maaf untuk sekedar bisa bersantap siang dengan keluarganya.Diman,sang suami idaman.Wallahua’lam.
Marhaban Ya Ramadhan.!