Peraturan Gubernur Maluku Utara Nomor 10 dan 12 tentang pergeseran anggaran memicu riak politik dan hukum yang belum juga surut. Kebijakan yang diteken Gubernur Sherly Tjoanda itu sontak menjadi bara dalam sekam, menyulut kontroversi dari pelbagai kalangan: akademisi, politisi, aktivis, hingga masyarakat sipil.Isunya bukan remeh. Gubernur diduga telah mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa melalui mekanisme legislasi. Padahal, APBD adalah produk hukum daerah berbentuk peraturan daerah (Perda) yang lahir dari persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif. Logikanya, setiap perubahan terhadap Perda, sekecil apa pun, harus melalui proses legislasi ulang. Tidak bisa hanya melalui Pergub yang bersifat eksekutif sepihak.
Di titik inilah sorotan publik menajam. Pergub yang diduga “membegal” Perda sesungguhnya bukan sekadar perbedaan tafsir administratif, tapi berpotensi sebagai pelanggaran konstitusional. Maka wajar jika mencuat pertanyaan: apakah Gubernur Sherly telah melampaui batas kewenangannya?
Tentu, penilaian itu tidak bisa berdiri di atas asumsi belaka. Ekonom Universitas Khairun, Mukhtar Adam, misalnya, berpendapat tidak ada pelanggaran dalam Pergub tersebut, bahkan membandingkan dengan langkah serupa yang pernah ditempuh di level nasional oleh Presiden Prabowo di awal pemerintahannya.
Namun demikian, silang pendapat yang tajam ini tidak boleh terus-menerus bergulir tanpa kepastian. Justru karena perbedaan pandangan itu, DPRD Maluku Utara harus mengambil peran konstitusionalnya: menggulirkan hak angket. Forum ini menjadi ruang resmi dan sah untuk menguji apakah kebijakan dua Pergub itu bertentangan dengan hukum atau tidak.
Komentar