Hipotesa Prabowo, jika dimaknai lebih dalam, bukan sekadar kritik pada trickle-down effect, tapi juga sebuah ajakan untuk membaca Indonesia dari laut, bukan dari darat. Dari perahu, bukan dari gedung tinggi. Sebab bisa jadi, akar kegagalan pembangunan kita adalah kegagalan membaca bentuk dasar kita sendiri: gugus pulau yang tidak bisa diperlakukan seperti daratan panjang nan sambung menyambung.
Mungkin Prabowo sedang mencari cara baru untuk memajukan bangsa: bukan dengan mengejar pertumbuhan GDP yang semu, tetapi dengan merumuskan ulang standar kemajuan yang lebih manusiawi dan lebih kepulauan. Bukan negara yang hebat dalam angka, tapi negara yang sungguh-sungguh memanusiakan manusia.
Jadi, saat kita melihat uang seribu itu lagi, mungkin kita harus bertanya: sudah sejauh mana kita membangun dari sudut pandang gugus pulau, bukan dari balik meja konferensi? Atau jangan-jangan, seribu rupiah itu justru sedang menertawakan kita, karena kita masih belum paham bahwa membangun Indonesia berarti membangun dari pinggir, dari laut, dari pulau-pulau kecil yang tak pernah masuk headline.
Dan seribu rupiah, dengan segala kerendahan nilainya, mungkin lebih jujur dari sebagian besar pidato ekonomi kita.
Ternate, Kamis, 27 Juli 2025.

Komentar