Dari cengkeh yang memancing penjajahan hingga nikel yang mengusir warga dari hutan, Maluku Utara adalah wajah dari hipotesa Prabowo yang hidup dan bernapas, negara ini dibangun dengan logika ekonomi daratan, bukan kepulauan. Sumber daya diekstraksi, tapi nilai tambah pergi entah ke mana. Sementara masyarakat pulau masih berjibaku dengan akses dasar: listrik, air, sekolah, dan dermaga.
Inilah wajah ironi: negara kepulauan terbesar di dunia, tapi masih memakai lensa ekonomi kontinental untuk membaca dirinya sendiri.
Akibatnya, kebijakan yang lahir pun bias-ibukota. Daerah yang menjadi ibukota (entah kabupaten, provinsi, atau nasional) biasanya menjadi pusat pembangunan, sementara wilayah lainnya hanya mendapatkan “efek rembesan”. Maka tak heran jika kesenjangan antarpulau, antarwilayah, bahkan antarkampung di satu pulau terus melebar.
Para teknokrat kita, sebagian besar belajar teori pembangunan dari universitas bergengsi di Eropa dan Amerika, datang membawa rumus-rumus pembangunan daratan, lalu ditugaskan membangun pulau-pulau. Itu seperti menyuruh astronot memperbaiki kapal nelayan: niatnya baik, tapi alatnya tak cocok. Akhirnya lahir kebijakan-kebijakan yang distorsif, bahkan absurd: misalnya membangun industri nikel besar-besaran di pulau kecil tanpa memperhitungkan daya dukung ekologis dan sosial.
Uang seribu rupiah itu lalu menjadi semacam puisi tragis: indah dipandang, menyimpan makna filosofis, tapi tak bisa dipakai beli bensin ketinting atau bayar sinyal di ujung pulau. Ia adalah gambaran dari bagaimana negara ini pandai membingkai kepulauan secara estetika, tapi kurang lihai mengeksekusinya secara ekonomika.
Komentar