oleh

Prabowo dari Cak Imin, Gugat Negara Kepulauan

-OPINI-331 Dilihat

Di tengah perayaan simbol ini, muncul hipotesa menarik dari Presiden Prabowo Subianto, yang disampaikan dengan gaya khas oleh Gus Imin. Bahwa teori kapitalisme klasik, dengan mazhab trickle-down effect, tidak cukup membawa bangsa ini pada cita-cita konstitusional, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kritik ini bukan hanya menyasar pada arsitektur kebijakan ekonomi, tapi juga pada paradigma yang telah using, bahwa pertumbuhan ekonomi dari atas akan menetes ke bawah. Sayangnya, di negeri kepulauan ini, yang menetes seringkali bukan kesejahteraan, melainkan air mata.

Baca Juga  Mukhtar Adam : Uang Seribu Rupiah Bergambar Panorama Pulau Tidore dan Maitara Simbol Ketimpangan Realitas Ekonomi

Mari kita ambil contoh Maluku Utara. Provinsi ini tak hanya menyimpan nikel, komoditas kekinian yang ramai dielu-elukan dalam jargon hilirisasi, tapi juga menyimpan sejarah panjang sumber daya yang pernah jadi rebutan dunia, cengkeh yang membawa armada Portugis dan Belanda, kelapa yang jadi sandaran ekonomi rakyat, kayu yang memicu ekspansi korporasi besar, emas yang dijanjikan sebagai berkat tapi sering berakhir menjadi kutukan.

Baca Juga  Kapolres “Jaga Sula” dari Dapur Rakyat

Dari cengkeh yang memancing penjajahan hingga nikel yang mengusir warga dari hutan, Maluku Utara adalah wajah dari hipotesa Prabowo yang hidup dan bernapas, negara ini dibangun dengan logika ekonomi daratan, bukan kepulauan. Sumber daya diekstraksi, tapi nilai tambah pergi entah ke mana. Sementara masyarakat pulau masih berjibaku dengan akses dasar: listrik, air, sekolah, dan dermaga.

Baca Juga  80 Tahun Merdeka “Indeks Kemerdekaan Pulau”

Inilah wajah ironi: negara kepulauan terbesar di dunia, tapi masih memakai lensa ekonomi kontinental untuk membaca dirinya sendiri. Akibatnya, kebijakan yang lahir pun bias-ibukota. Daerah yang menjadi ibukota (entah kabupaten, provinsi, atau nasional) biasanya menjadi pusat pembangunan, sementara wilayah lainnya hanya mendapatkan “efek rembesan”. Maka tak heran jika kesenjangan antarpulau, antarwilayah, bahkan antarkampung di satu pulau terus melebar.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *