oleh

Membaca Ulang Pernyataan Mendagri: Di Balik Luas Wilayah, Ada Soal Fiskal yang Lebih Serius.

-OPINI-612 Dilihat

Namun yang luput dari diskusi publik adalah bahwa di balik wacana pemekaran, terdapat ancaman nyata terhadap keberlangsungan fiskal Kota Tidore Kepulauan, khususnya atas Dana Bagi Hasil (DBH) sektor pertambangan yang selama ini menopang APBD Kota Tidore dalam proporsi yang sangat signifikan.

UU HKPD dan Perubahan Drastis dalam Formula DBH. Perubahan dari UU No. 33 Tahun 2004 ke UU No. 1 Tahun 2022 tentang HKPD, khususnya Pasal 116 ayat (4) huruf c, mengatur bahwa kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sumber daya mineral dan batubara (minerba) akan memperoleh bagian dari DBH sebesar 12%.

Baca Juga  Hak Menyampaikan Pendapat di Bungkam dengan Penjara, Kriminalisasi dan Intimidasi

Sebagai implikasi langsung dari ketentuan ini, Kota Tidore Kepulauan, yang wilayah Oba-nya berbatasan daratan langsung dengan pusat-pusat industri pertambangan seperti:
• PT Harita (Halmahera Selatan),
• PT IWIP (Halmahera Tengah), dan
• PT Antam (Halmahera Timur),
mengalami lonjakan dana transfer yang luar biasa, bahkan hingga 90,56% APBD 2025 Tidore bersumber dari DBH sektor pertambangan dan minerba—yakni Rp172,58 Miliar.

Baca Juga  Prematur; Kritik Atas Pemblokiran Rekening Masyarakat oleh Pemerintah.

Jika kawasan Oba dipisahkan dan menjadi bagian dari Kota Sofifi sebagai Ibu Kota Provinsi, maka Sebagian potensi DBH yang melekat pada status geografis kawasan itu akan hilang dari Tidore, menciptakan fiscal hollowing yang sangat membahayakan kemandirian dan keberlanjutan pembangunan daerah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *