Pertanyaannya: Sampai Kapan?
Sampai kapan Maluku Utara hanya akan menjadi ladang perahan ekonomi, tetapi bukan mitra dalam pembangunan nasional?
Sampai kapan rakyatnya hanya akan diberi janji simbolis, seperti “bantuan kapal nelayan” yang hanya berupa berkas kertas tanpa anggaran?
Ketimpangan ini bukan lagi soal teknis birokrasi—ini soal keadilan politik, harga diri daerah, dan masa depan generasi Maluku Utara.
Bukan Menuntut, Tapi Menyadarkan.
Tulisan ini bukan bentuk tuntutan emosional, tetapi panggilan sadar untuk pemerintah pusat: bahwa keadilan pembangunan harus dirasakan oleh semua daerah yang berkontribusi bagi republik. Termasuk Maluku Utara. Terutama Maluku Utara.
Jika pusat masih tuli, maka bukan tidak mungkin semangat daerah akan berubah menjadi bara api perlawanan yang lebih luas. Sebab cinta yang tulus adalah cinta yang membangun—bukan sekadar mengambil dan meninggalkan.
Komentar