Smith Alhadar : Penasihat pada Institute for Democracy Education (IDe)
Perjalanan Indonesia ke depan semakin berat. Presiden Prabowo Subianto harus berbagi kuasa dengan Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Kita tahu dalam institusi-institusi negara dan pemerintahan, berderet menteri dan kepala lembaga loyalis Jokowi yang lebih patuh pada mantan bos mereka ketimbang pada otoritas Prabowo.
Hal ini mengakibatkan kebijakan pembangunan Prabowo, seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, akan seret. Bahkan, gelar the king of lip service yang dulu disematkan mahasiswa UI terhadap Jokowi akan berpindah ke Prabowo. Pasalnya, para loyalis Jokowi itu terlilit masalah hukum terkait korupsi. Sementara, terindikasi kuat Prabowo tak akan menyentuh mereka.
Terlebih, keluarga Jokowi mempraktekkan KKN. Putra-putri Jokwo (Gibran, Kaesang, Kahiyang Ayu) dan menantunya (Bobby Nasution) ditengarai terlibat kolusi, suap, gratifikasi, dan konsesi tambang. Sementara iparnya, Anwar Usman, merekayasa hukum untuk menjadikan Gibran Rakabuming calon wakil presiden. Dalam kasus ini, menurut laporan Tempo, Ibu Iriana Jokowi juga berperan penting.
Kendati Prabowo menyanjung Jokowi setinggi langit, sesungguhnya legasi Jokowi meracuni pemerintahannya. Masih banyak warisan buruk pemerintahan Jokowi — seperti, kasus KM 50, cawe-cawe dalam pilpres dan pilkada, proyek-proyek strategis nasional yang manipulatif, dan sejumlah Omnibus UU hasil kolusi dengan oligarki – akan terus membebani pemerintahan Prabowo.
Singkat kata, Jokowi masih menjadi “presiden” RI. Presiden Prabowo boleh bermain di pinggiran asalkan inti dan agenda pemerintahannya dikuasai “Presiden” Jokowi. Hal-hal ini, ditambah dengan program pembangunan populis Prabowo, seperti makan bergizi gratis, Inpres No 1 2025 tentang efisiensi anggaran yang serampangan, menyebabkan mahasiswa turun ke jalan.
Dalam situasi berat ini, Megawati memperlihatkan kuasanya. Segera setelah Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dijadikan tersangka dan ditahan, Megawati mengeluarkan instruksi kepada gubernur dan kepala daerah/walikota dari PDI-P untuk tidak ikut serta dalam retret ke Magelang. Sikap Megawati yang merongrong otoritas Prabowo merupakan ungkapan kekecewaannya terhadap sahabatnya itu.
KPK menetapkan Hasto tersangka terkait kasus suap Harun Masiku. Hasto dikatakan menyuap komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku yang suaranya tidak cukup dalam pileg menjadi anggota DPR dengan instrumen pergantian antarwaktu (PAW). Lebih jauh, Hasto dikatakan menghilangkan barang bukti dan menyuruh Harun melarikan diri.
Hasto membantah semuanya. Lepas dari proses hukum yang sedang berjalan, kasus yang terjadi pada awal 2020 ini sangat berbau politis. Apalagi, tidak ada kerugian negara. Uang yang disetor kepada Wahyu Setiawan sekitar Rp 900 juta yang, kalau benar tuduhan KPK, berasal dari kantong Hasto sendiri, setidaknya sebagiannya. Sudah pasti Megawati percaya pada anak emasnya ini.
Bagaimanapun, instruksi Megawati melanggar amanat dari UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Retret merupakan agenda penting untuk mengsingkronisasi dan mengharmonisasi program-program pemerintah pusat dan daerah. Apalagi selama kampanye pilkada, para calon kepala daerah/wali kota melemparkan janji-janji yang tak sejalan dengan program pemerintah pusat.
Akibat instruksi Megawati, puluhan gubernur dan kepala daerah/wali kota dari PDI-P urung hadir di Akademi Militer, Magelang, untuk mendapat pembekalan dari pakar dan pejabat yang ditunjuk Prabowo. Retret, yang juga berguna untuk membangun hubungan emosional antarpemimpin daerah, juga akan diisi Prabowo pada dua hari terakhir retret (21-28 Februari).
Selain tak percaya pada tuduhan KPK, Megawati melihat penahanan Hasto sebagai aksi balas dendam Jokowi yang ambisinya berkuasa tiga periode ditentang Megawati. Juga, pada April mendatang PDI-P akan melangsungkan Kongres VI untuk memilih ketua umum partai. Dalam konteks ini, Hasto yang telah lama malang melintang di partai punya peran strategis dalam mengamankan Kongres.
Di pihak lain, Megawati mencium ada gelagat Jokowi akan mengacaukan kongres dengan menyelundupkan orang dalam PDI-P untuk mengambil alih partai terbesar itu. Pemecatan Megawati atas Jokowi sebagai kader partai memperbesar kemarahan Jokowi terhadap Megawati. Jokowi ingin tetap berada dalam partai dan membangun faksinya sendiri sehingga loyalisnya di PDI-P tetap terjaga. Dengan demikian, dugaan ia hendak membegal PDI-P bisa lebih mudah.
Kecurigaan bahwa KPK mempersangkakan Hasto punya landasan sendiri. Sebagaimana diketahui, pimpinan dan dewan pengawas KPK saat ini hasil seleksi Jokowi pada akhir masa pemerintahannya. Padahal, sesuai UU, seharusnya presiden yang sedang berkuasalah (Prabowo) yang punya hak menyeleksi pimpinan dan dewan pengawas KPK.
Setelah KPK dilemahkan pada 2019 dan mengubahnya dari lembaga independent menjadi entitas eksekutif di bawah presiden, Jokowi memanfaatkan lembaga ini untuk menyandera siapa pun yang berpotensi berseberangan dengan agendanya, sekaligus melindungi keluarganya. Dus, logis kalau orang menduga KPK bekerja untuk kepentingan Jokowi, yaitu membuang trah Soekarno dari PDI-P.
Sebagai sahabat, Megawati berharap Prabowo bisa menggunakan wewenangnya untuk membendung “konspirasi” Jokowi melalui KPK, yang tujuan pokoknya adalah merusak PDIP. Prabowo serba salah. Di satu pihak, ia tak mau konfrontatif dengan Jokowi. Di pihak lain, ia ingin menjaga hubungan baik dengan Megawati, sekaligus membuka peluang bergabungnya PDI-P ke KIM plus.
Absennya gubernur dan kepala daerah/wali kota dari PDI-P di acara retret akan mengurangi efektivitas pemerintahan Prabowo. Kendati Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus mendominasi, jumlah kepemimpinan di daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota dari PDI-P masih lumayan banyak. Mereka ditengarai akan mengimplementasikan program pembangunan mereka sendiri.
Dalam laporannya, Kompas (21/2), melihat fenomena perbedaan koalisi antarprovinsi dan kabupaten/kota pada pasangan calon pemenang pilkada berpotensi mempengaruhi keselarasan peta penguasaan politik. Pertama, gubernur dan bupati/wali kota punya wewenang masing-masing. Jika mereka berasal dari partai berbeda, ada kemungkinan kebijakan yang diambil tak selalu sejalan, terutama dalam program pembangunan, anggaran, dan kebijakan strategis lain.
Kedua, gubernur memiliki kewenangan mengoordinasi jalannya pemerintahan kabupaten/kota di wilayahnya. Jika hubungan politik antara gubernur dan bupati/wali kota kurang baik, koordinasi dalam program pembangunan bisa terhambat. Boleh jadi hal ini juga berdampak pada proses alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke daerah.
Ketiga jika gubernur dan bupati/wali kota memiliki ambisi politik lebih tinggi, bisa terjadi persaingan yang berdampak pada efektivitas pemerintahan. Misalnya, gubernur bisa lebih memprioritaskan daerah yang kepala daerahnya berasal dari partai yang sama, sementara bupati dan wali kota bisa menunjukkan kinerjanya yang lebih baik untuk meningkatkan dukungan politiknya.
Dus, sadar atau tidak, instruksi Megawati memunculkan dia sebagai “presiden” juga, yang akan memerintah di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota. Toh, para pejabat itu hanyalah petugas partai yang dikendalikan Megawati. Meskipun ada juga kepala daerah dari PDI-P yang ogah tunduk pada instruksi Megawati, mayoritas mematuhinya. Semua permasalahan ini bersumber dari lemahnya leadership Prabowo. Tidak sepatutnya ia membiarkan pemerintahannya diintervensi Jokowi, yang berujung pada intervensi Megawati.
Mungkin hanya di Indonesia negara dan pemerintahan dikendalikan oleh tiga presiden dalam waktu bersamaan. Jalan keluarnya bukan membebaskan Hasto, tapi memerdekakan negara dari cengkraman Jokowi yang bersekongkol dengan oligarki melalui kaki tangan mereka dalam negara. Instruksi Megawati harusa dilihat sebagai bargaining chip (kartu tawar) terhadap Prabowo: pilih Jokowi atau aku?
Prabowo tak punya pilihan kecuali tetap jalan bersama Jokowi. Terlebih, ia akan ternoda sebagai presiden plin-plan dalam pemberantasan korupsi kalau ia membebaskan Hasto. Toh, fait accompli yang dilakukan KPK – mungkin atas perintah Jokowi – membuat Prabowo dalam posisi point of no return. Dus, negara ini akan terhuyung-huyung dalam pusaran instabilitas dan inefektivitas mungkin sampai muncul gemuruh parlemen jalanan yang ujungnya kita tak tahu seperti apa.
Tangsel, 22 Februari 2025
Komentar