oleh

REZIM KINGKONG DAN PENERUSNYA

-HEADLINE, OPINI-16 Dilihat

Iklan.

Sejak 7 September, negeri ini heboh oleh perilaku aib rezim. Media mainstream dan medsos didominasi berita kasus Rempang. Ketika itu pecah konflik fisik antara rakyat dan aparat keamanan gabungan. Puluhan warga terluka, terkena gas air mata, dan ditangkap.

Kita semua terkejut. Kok bisa? Tapi reaksi kita berbeda. Ada yang diam, ada yang tertawa, dan banyak yang menangis. Yang diam adalah mereka yang apatis menghadapi realitas politik nasional hari ini. Rezim ini terlalu bebal dan arogan. Dan sepenuhnya tunduk pada oligarki dan Cina. Tak ada yang bisa diubah kecuali dengan kekuatan yang besar.

Memang sulit dimengerti rezim Prediden Jokowi masih mendapat dukungan rakyat, sampai-sampai bakal capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berebut klaim bahwa mereka didukung Jokowi. Lembaga survey yang “kredibel” memang mengungkap endorsement Jokowi cukuo menentukan kemenangan capres.

Baca Juga  Serius Mekarkan DOB Kota Bacan, Obi dan Gane, Bupati Bassam Temui Mendagri

Karena Jokowi masih sangat berpengaruh, percuma kita melawannya. Lebih baik kita mengurus diri kita sendiri di tengah lilitan ekonomi akibat kenaikan harga barang-barang yang terus terjadi. Subsidi BBM tertentu pun terpaksa akan dinaikkan akibat kenaikan harga minyak di pasar global.

Yang tertawa adalah mereka yang menyambut penuh suka cita masuknya investasi jumbo dari Cina ke Rempang. Kemarahan puak Melayu tak mereka hirau, hanya dianggap sebagai reaksi orang-orang tolol. Buldozer saja mereka bila perlu.

Memang konon PT Makmur Elok Graha (MEG) milik taipanTomy Winata yang menggandeng perusahaan asal Cina, Xinyi Glass Holding Ltd, akan berinvestasi di Rempang sebesar 11,6 miliar dollar AS sampai tahun 2080.

Baca Juga  Putusan Dismisal Pilkada Malut Minggu Ke 2 Februari 2025

Mereka akan membangun Proyek Eco City (PEC) yang akan mengokupasi sekitar 50 persen Pulau Rempang, termasuj 16 Kampung Tua yang kemarin penghuninya melawan aparat. Konon, di dalam PEC akan dibangun industri kaca terbesar kedua di dunia, panel surya, dan pariwisata.

Katanya, ini akan membutuhkan lebih dari 300.000 tenaga kerja. Puak Melayu yang miskin akan hidup sejahtera lahir batin. Mereka tak peduli bahwa PEC akan membuat penduduk kehilangan ruang hidup, budaya, sejarah, dan lingkungan yang sehat.

Semua itu tidak ada artinya ketimbang keuntungan materiil yang akan mereka peroleh, meskipun meningkatnya pendptan tidak otomatis meningkatkan kualitas hidup. Terlebih, fakta bahwa nyaris semua proyek tambang milik Cina di negeri ini tidak menciptakan kesejahteraan bagi penduduk di sekitar proyek.

Baca Juga  3 Paslon Pemohon Sengketa Pilkada Malut Kompak Minta MK Diskualifikasi Sherly-Sarbin

Malah, mereka harus menghadapi kualitas hidup yang lebih buruk akibat polusi, kerusakan lingkungan, dan menyempitnya ruang hidup. Kenyataan lain, buruh yang bekerja di proyek mayoritas adalah warga Cina. Hanya sedikit warga lokal yang direkrut.

Itu pun dengan gaji yang menyedihkan dibandingkan upah buruh Cina meskipun mereka memiliki keterampilan dan pekerjaan yang sama. Ini menimbulkan kecemburuan buruh lokal.

Maka, beberapa waktu lalu kita menyaksikan perkelahian di tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tenggara, yang digarap perusahaan Cina, yang menewaskan dua buruh lokal dan satu buruh Cina.

Mereka yang menangis melihat bagaimana puak Melayu diperlakukan adalah mereka yang masih memiliki akal sehat, nurani, dan semangat menghadapi kezaliman.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *