Budaya Hapolas suku Makean di Maluku Utara, khusunya pada sub etnis Makean Ngofakiaha, memiliki nilai solidaritas dan kepedulian yang tinggi dalam masyarakat. Praktik ini mencerminkan rasa empati dan gotong royong di antara anggota masyarakat yang datang membawa uang untuk membantu keluarga yang sedang dilanda duka akibat kehilangan anggota keluarga. Selain memberikan dukungan finansial, tradisi ini juga mengingatkan pada pentingnya saling membantu dan merawat sesama dalam situasi sulit.
Hapolas merupakan istila yang diambil dari bahasa daerah Makean dalam pada umumnya. dari kata dasar polas, yang artinya membayar. Dengan menambah awalan ‘ha’ yang bermakna sebagai perintah membayar, atas kewajiban sosial.
Tidak diketahui pasti historis kapan budaya ini mulai dipraktikkan di masyakat, yang pasti ini merupakan budaya yang sudah cukup ‘kuno’, dan tetap bertahan hingga sekarang.
Hapolas hanya dikenal dalam peristiwa kematian, tidak untuk dalam peristiwa lain seperti perkawinan atau memperingati kelahiran maupun kegiatan lain yang sifatnya terencana. Sebab kematian adalah rahasia ilahi yang tidak satupun manusia bisa mengetahui atau memprediksi kapan terjadi. Karena kedatangannya tiba-tiba mengajarkan manusia untuk menghargai setiap momen yang dimiliki dan merangkul kehidupan dengan lebih penuh. Karena itu, penting untuk menjalani hidup dengan bijaksana, berusaha mencapai tujuan dan menjaga hubungan yang berarti, sehingga dapat meninggalkan warisan positif tanpa mengetahui kapan saat akhirnya akan tiba.
seorang ilmuan Pakistan yang bernama Marbum, menempatkan usia harapan hidup sebagai alat ukur panjang hidup manusia pada satu wilayah, tapi dirinya tidak sanggup memprediksi waktu kapan terjadinya kematian.
Budaya Hapolas yang telah berlangsung selama ratusan tahun di kalangan suku Makean Ngofakiaha ini, menjadi bukti kekuatan tradisi dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat. Keberlanjutan praktik ini menunjukkan rasa hormat terhadap leluhur dan budaya warisan, serta menegaskan pentingnya solidaritas dan persatuan dalam komunitas. Penghargaan terhadap tradisi seperti ini dapat menjadi contoh positif bagi masyarakat lain dalam mempertahankan warisan budaya mereka dan membangun hubungan sosial yang kuat.
Menariknya, kesadaran akan budaya Hapolas tetap hidup dan terpelihara di hati setiap orang Makean, tidak hanya yang berada di desa atau pulau Makean sebagai muasal budaya ini. Melainkan juga dipraktikkan oleh mereka yang tinggal di perantauan. Ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional dengan akar budaya dan tradisi ini.
Praktik seperti ini tidak hanya mempererat hubungan antaranggota komunitas atau suku, tetapi juga membantu menjaga identitas dan jati diri kelompok tersebut di tengah lingkungan yang beragam secara budaya. Hal ini menegaskan bahwa budaya memiliki kemampuan untuk mempersatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, bahkan di tengah perubahan lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda.
Kenyataan bahwa semangat budaya Hapolas tetap kuat di kalangan orang Makean meskipun adanya gempuran modernitas dan kemajuan teknologi adalah suatu pencapaian yang luar biasa. Ini menunjukkan fleksibilitas budaya dalam beradaptasi dengan zaman, sambil tetap memegang erat nilai- nilai warisan leluhur. Kemampuan untuk mengembangkan tradisi secara sesuai dengan perubahan jaman adalah tanda kehidupan budaya yang dinamis dan relevan. Dengan demikian, orang Makean mampu mempertahankan identitas mereka sambil tetap menghormati dan meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya.
Hal menarik lain, budaya Hapolas kini tengah merambah dikalangan sub etnis Makean dalam yang lain. Ngofagita salah satu-nya mempraktikkan budaya Hapolas ini. Disamping tetap mempertahankan budaya Baleta, yang berlaku umum dalam setiap hajatan yang terencana maupun tidak terencana seperti kematian. Pada beberapa desa Ngofagita di Kabupaten Halmahera Selatan, bahkan budaya Hapolas menjadi magnet yang mengakar.
Penerimaan yang baik terhadap budaya Hapolas ini di masyarakat di luar sub etnis Ngofakiaha, karena kehadirannya tidak mereduksi budaya mereka yang lain, malah memperkuat. Seperti budaya Leleyan dan Tahlil. Padahal kita ketahui, Tahlil dan Leleyan merupakan praktik pemborosan dalam keluarga dan tak jarang mendapatkan penolakan di masyakat. Sebab puluhan bahkan ratusan orang yang berkumpul disetiap peristiwa kematian, memaksa keluarga yang sedang dilanda duka untuk menyediakan kebutuhan makan minum mereka.
Namun dengan budaya Hapolas, beban keluarga yang berduka dapat terbayarkan. Bahkan, tidak jarang ada pengakuan dari hasil Hapolas itu melebihi jumlah pengeluaran Leleyan dan Tahlil selama sembilan hari. Meski yang datang makan adalah orang sekampung.
Di sisi lain, melalui budaya Hapolas ini-pula, wadah silaturahmi terjalin, sekaligus menjadi media saling mengenal anak keturuna sesama anggota keluarga yang mungkin sekian tahun terpisah. Sebab warga Makean masuk dalam kategori kelompok masyakat nomaden, akibat ancaman gunung berapi.
Pendek kata, Hapolas memberikan makna filosofi hidup yang terkenal di kalangan orang Makean “tantub maka tanoan, tamhonas maka leleyan, tmot maka pelihara”(syukur loci).