Ketidakpastian pilpres masih menggantung. Koalisi-koalisi parpol dengan bakal capres-cawapres definitif belum terbentuk. Sementara, Jokowi masih nekat menjegal Anies Baswedan. Kita seperti dalam suasana perang, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok.
Sumber masalah terletak pada keculasan Jokowi bahwa pilpres adalah soal keberlanjutan legacy-nya. Padahal, hajat nasional itu harus dimaknai sebagai upaya mengejar tujuan bernegara. Juga untuk membuka kesempatan bagi pemerintahan baru menilai program pembangunan pendahulunya.
Yang bagus dilanjutkan, yang salah dikoreksi, dan ide baru dimunculkan. Itu yang berlaku di banyak negara. Kalau presiden baru hanya meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnta, pilpres yang mahal akan kehilangan makna dan kesalahan yang mungkin dibuat pemerintahan lama mendapat pembenaran.
Kendati telah diperingatkan tentang hal ini, Jokowi mengabaikannya. Ini karena ia memposisikan diri sebagai proksi oligarki dan Cina, yang ia bayangkan kelak dapat melindungi dinasti politik dan bisnis keluarganya. Dalam konteks perlindungan KKN keluarganya ini pula ia menegaskan tak akan netral dalam pilpres.
Cawe-cawe akan ia lanjutkan. Kalau upaya menjegal Anies gagal, pesaing mantan Gubernur DKI Jakarta itu — mungkin Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto — harus keluar sebagai pemenang. Ini menimbulkan kekhawatiran pilpres tidaj akan jurdil.
Dus, bangsa besar ini dipermainkan Jokowi, orang yang seharusnya tak dikenal bangsa ini. Ia mengaku tak suka baca dan berdusta membuat mobil Esemka. Ia hanya tukang mebel yang tidak penting bagi sejarah. Kemenangannya dalam pilpres dulu bukan karena ia bersedia melanjutkan legacy SBY, melainkan mengiming-imingnya kepada rakyat dengan puluhan janji kosong.
Dan kendati melakukan pelanggaran kenegaraan yang serius, untuk sementara tak ada kekuatan yang bisa melengserkannya sebagaimana yang dilakukan terhadap Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Jokowi layak berbangga diri karena dengan kapasitas intelektual yang terbatas ia mampu tampil di titik pusat negara.
Ambisinya membangun IKN, yang bagi para pengamat terlihat dungu dan mubazir, bagi Jokowi hal yang tidak mungkin bisa diwujudkan bila kita memasukkan unsur nekat dan primbon dalam mengambil keputusan.
Banyak yang menentang wacana ini.Tapi penentangan mereka belum berguna karena lebih banyak orang yang percaya bahwa apapun yang diputuskan Jokowi pasti benar. Ia telah menjadi kultus: keyakinan, gagasan, dan sikap kekinian yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Org setuju saja dengan semua pendptnya. Tak peduli banyak proyek mercusuarnya yang tidak penting dan boros menguras sumber daya negara. Mereka juga memaafkan kebohongan publik yang dilakukan Jokowi berulang kali. Padahal, Soeharto yang sangat kuat pun tidak melakukannya.
Jangan-jangan Jokowi menderita mythomania atau kebohongan patologis yang membuatnya melakukan kebohongan terus-menerus dalam waktu lama. Pengidap mythomania biasanya berbohong tanpa tujuan yang jelas untuk menutupi kesalahan, memutarbalikkan fakta atau penyebab lainnya.
Komentar