Suara itu menakutkan: demi bangsa, aku tidak bisa netral. Pernyataan ini hanya mungkin datang dari orang jahil, arogan, dan overconfidence. Meletakkannya dalam konteks persaingan bakal capres Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, Jokowi menyatakan ia berpihak pada Ganjar dan Prabowo. Anies harus disingkirkan dari arena pilpres.
Seluruh malaikat pun menangis menyaksikan sikap culas pemimpin yang tak tahu diri ini. Memangnya lu siapa? Kok begitu percaya diri, mengabaikan amanat konstitusi, etika, aspirasi rakyat, dan desakan cendekiawan agar pilpres berjalan fair.
Bak diktator menjelang lengser keprabon, Jokowi ngotot yang berkompetisi hanya dua pasang capres-cawapres: Ganjar dan Prabowo dengan pasangan cawapres masing-masing. Komposisi capres-cawapres yang didukungnya bisa berubah, tapi dlm kondisi apapun Anies tak boleh ikut kompetisi.
Banyak orang marah, tapi Jokowi anggap enteng: memang kalian bisa apa? Yang juga mengganggu akal sehat kita adalah dukungan pada bakal capres yang cacat, dan menolak capres ideal. Prabowo terlibat penculikan 9 aktivis meskipun kemudian yang bebaskan semuanya.
Ia juga diberitakan luas hendak mengambil kekuasaan menjelang Soeharto lengser. Terakhir, Prabowo terlihat menjilati Jokowi, mantan pesaingnya yang berkhianat keoadanya, yang menimbulkan pertanyaan publik terhadap kejujurannya.
Rekam jejak Ganjar tak lebih baik. Tidak ada prestasinya selama memimpin Jawa Tengah sebagau gubernur dua periode. Provinsi itu menjadi yang termiskin di Pulau Jawa.
Kasus intimidasi Ganjar terhadap warga desa Wadas dan ketidakpeduliannya pada keluhan warga Pegunungan Kendeng mengingatkan kita pada perilaku Orde Baru. Tak kurang penting, ia diberitakan terlibat korupsi proyek e-KTP.
Anies bebas dari cacat apapun dalam konteks calon pemimpin negara. Rekam jejaknya ketika memimpin Jakarta mendapat apresiasi luas dari dalam maupun luar negeri.
Ia cerdas, berintegritas, dan akuntabel. Alhasil, tak ada unsur apapun yang mungkin menghubungkannya dengan Orba dan kebijakan korup. Asli ia putera reformasi. Kita tidak perlu tahu — dan harus tidak tahu — parameter yang digunakan Jokowi dlm menentukan tokoh yang layak dan tidak layak menggantikannya. Seolah ia dewa.
Memang sikap ini menunjukkan Jokowi orang berani. Berani ngawur dan tidak takut malu. Juga berani abai terhadap kritisisme. Ini hanya mungkin muncul daru org yang ketakutan terhadao legacy-nya yang barangkali akan mengancam dia dan keluarganya pasca lengser.
Ketakutan demikian dengan sendirinya menghilangkan akal sehatnya. Sampai-sampai ia tak mengindahkan norma demokrasi dan konstitusi, membuang kewajibannya untuk berlaku netral dan menjamin pilpres berjalan fair.
Memang orang seperti ini tidak mungkin menerima nasihat. Bisa jadi diam-diam ia telah menerima wangsit bahwa presiden adalah pemilik kebenaran. Maka, dia berhak menentukan apa saja yang terkait nasib bangsa. Kita mau bilang apa!?
Ia melihat hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey yang menyatakan tingkat kepuasan publik terhadao kinerja yang cukup tinggi sebagai pembenaran publik terhadap semua yang dilakukannya.
Komentar