Belum lagi habis keheranan kita pada kelakuan Firli, muncul Moeldoko yang lebih aneh lagi.Dia, yang tak punya urusan dengan Demokrat, tiba-tiba muncul dari lorong gelap untuk memperkarakan keabsahan pengurus Demokrat yang diakui Kemenhukam sebagai parpol yang sah. Terlebih, peninjauan kembali yang diajukan ke MA telah dikalahkan 16 kali. Kalau nanti MA mengabulkan PK-nya, maka itu hanya menegaskan eksistensi New Normal telah terjadi di seluruh lini negara.

Kepala Staf Presiden Moeldoko, jenderal bintang 4 yang mestinya cerdas dan sportif, bersedia menjalankan perintah pemimpin bedebah yang tujuan utamanya sama dengan Firli: menjegal bacapres yang dipandang akan mengembalikan moral dan akal sehat msyarakat yang telah mereka hancurkan. Tentu ini bertentangan denhan New Normal. New Normal adalah penjungkirbalikan logika. Persetan dengan tatanan konstitusialisme. Era baru bertumpu pada logika oligarki bahwa kesuksesan pemerintah diukur dari seberapa besar oligarki diuntungkan, bukan pada seberapa besar rakyat dibebaskan dari kemiskinan.
Mahasiswa jugabertransformasi menjadi manusia-manusia baru. Di tengah upaya Jokowi menunda pemilu, juga usaha Firli dan Moeldoko merusak demokrasi dan pilpres, mahasiswa justru berunjuk rasa terkait UU Cipta Kerja. Bukan tidak penting menolak UU yang melayani kepentingan oligarki itu, tapi memprotes Jokowi, Firli, dan Moeldoko jauh lebih penting dalam konteks kebangsaan dan demokrasi yang dulu diperjuangkan senior mereka dengan darah dan air mata.
Keganjilan lain, salah satu Menkeu terbaik di dunia, mengaku tidak tau terjadinya transaksi mencurigakan Rp 349 T di kementerian yang dipimpinnya, yang telah berlangsung 14 tahun.Sebagiannya, Rp 35 T, berupa korupsi. Meskipun demikian, pemimpin bedebah tak marah padanya.
Ia menyuruh pembantunya yang lain (Menko Polhukam) untuk membuka aib menteri kepercayaannya itu. Tujuannya mengangkat kembali indeks korupsi Indonesia yang melorot. Mestinya presiden yang tampil gagah untuk bertanggun jawab . Tapi memang New Normal mencakup juga pelemparan tanggung jawab pemimpin kepada anak buahnya secara licik. Tapi keanehan tidak sampai di situ. Kita terkejut ketika DPR malah menyalahkan Mahfud MD dan PPATK karena membongkar mega skandal yang merugikan rakyat itu. Lebih jauh, mereka menolak RUU perampasan harta koruptor.
Alhasil, anomali-anomali bermunculan dari tempat-tempat tak terduga. Sekonyong-konyong Jokowi membentuk koalisi besar sambil mengentut PDI-P, partainya sendiri, yang berperan membesarkan namanya. Lalu, para pemimpin parpol yang tergabung dalam koalisi besar bersyukur dan memuji inisiatif Jokowi sebagau inovasi politik luar biasa, yang seolah tak mampu mereka pikirkan.
Padahal, itu pikiran sederhana dan koalisi itu berpotensi pecah ketika hrus menetapkan bacapres dan bacawapres. Tapi begitulah cara berpikir era baru. Tidak perlu mengandalkan pikiran dan gagasan sebagai alat tawar dalam membangun koalisi. Cukup dengan hanya mengandalkan arahan pemimpin bebal. Mestinya kita menangis menyaksikan para badut politik ini menertawai diri mereka sendiri.
New Normal akan berlangsung lebih lama daripada pandemi covid-19, juga dengan daya rusak yang lebih besar. Covid-19 hanya menyakiti atau mematikan sebagian “kecil” orang. Sebaliknya, New Normal yang dilahirkan ignorance, syahwat kekuasaan, dan kerakusan oligarki, membawa kerusakan lahir-batin bangsa yang penyembuhannya akan berlangsung lama.
Itu pun kalau presiden berikut adalah figur yang cerdas, visioner, dan berintegritas, untuk memulihkan akal sehat bangsa dan mengembalikannya pada rel cita-cita yang menjadi alasan perjuangan kita membebaskan diri dari belenggu penjajah. Belenggu sekarang adalah New Normal yang lahir dari pikiran picik dan niat yang curang.
Tangsel, 10 April 2023.
Komentar