Wakil Menteri ESDM, Yuliot, dalam kunjungan ke Ternate bulan lalu, mengakui Maluku Utara sebagai “model sukses hilirisasi nasional.”
“Investasi mencapai Rp55 triliun sepanjang 2024. Dari nikel, kita dapatkan nikel dan kobalt, dua komponen penting dalam ekosistem kendaraan listrik dunia,” ujarnya.
Dari sisi makro, pujian itu beralasan. Namun dari sisi sosial, keberhasilan itu masih meninggalkan jurang lebar antara pusat industri dan wilayah lainnya.
—
Pertumbuhan yang Tak Merata
Di Kabupaten Halmahera Barat, di sebuah dusun, salah satu warga setempat (47) yang enggan di beritakan itu duduk di depan rumah kayunya sambil menggulung jaring ikan.
Ia tahu tentang angka pertumbuhan 32 persen yang disebut di televisi. Tapi baginya, “angka itu tidak ikut datang ke kampung.”
“Harga solar naik, ikan makin jauh. Kalau tangkapan sedikit, anak sekolah pun bisa terganggu,” ujarnya pelan.
Kisah seperti ini menggambarkan paradoks ekonomi Maluku Utara: daerah tumbuh cepat, tapi tidak semua ikut tumbuh.
Lapangan kerja formal memang bertambah, namun sebagian besar berada di sektor padat modal yakni tambang dan industri pengolahan yang tak banyak menyerap tenaga kerja lokal.Akibatnya, banyak masyarakat yang hanya menjadi penonton dalam geliat ekonomi megah di depan mata mereka.
Kepala BPS Maluku Utara, Simon, memberi peringatan keras: “Kita jangan terlalu bangga dulu. Pertumbuhan tinggi dari tambang bisa habis sewaktu-waktu. Pemerintah harus fokus pada pertanian dan perikanan, sektor yang langsung dirasakan masyarakat.”
Pernyataan Simon menjadi alarm bagi Gubernur Sherly. Angka pertumbuhan bukanlah kemenangan jika tak diikuti kesejahteraan nyata.
—
Gubernur dan Bayang-Bayang Jumawa
Sebagai pemimpin perempuan pertama Maluku Utara, Sherly Tjoanda tampil percaya diri. Ia mewarisi posisi politik suaminya, mendiang Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK), dan berhasil membuktikan diri sebagai pemimpin yang efektif.
Namun keberhasilan itu kini diuji oleh godaan klasik: jumawa terhadap angka.
Sejumlah pengamat menilai Sherly terlalu larut dalam euforia capaian makroekonomi tanpa menyiapkan langkah konkret untuk diversifikasi ekonomi.
“Jangan hanya berburu di kebun binatang,” ujar seorang ekonom Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dengan nada sarkastik.
Maksudnya, jangan sibuk mencari pujian di wilayah yang sudah aman, sementara kebun rakyat diabaikan.
Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tidak segera dikawal dengan kebijakan redistributif dan produktif, maka Maluku Utara bisa menjadi contoh klasik boom-and-bust region, daerah yang kaya mendadak, lalu miskin mendadak.
Komentar