Dalam kasus Pulau Gebe, yang diuji bukan hanya kepatuhan hukum perusahaan tambang, tetapi juga moral lembaga penegak hukum: KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI.
Tiga lembaga ini didirikan bukan untuk menjadi penjaga stabilitas pelanggaran, tetapi penegak keadilan dan pelindung rakyat dari ketamakan kuasa dan modal.Mereka berdiri di atas hukum, bukan di bawah tekanan politik atau kepentingan ekonomi.
Namun sayangnya, dalam banyak kasus lingkungan dan perizinan tambang, ketiga lembaga ini sering terlihat lebih sibuk melindungi prosedur daripada menegakkan keadilan.KPK berhenti di penyuluhan, Kejaksaan sibuk pada diksi “kajian”, dan Kepolisian menunggu “koordinasi teknis”.Padahal, hukum tidak boleh menunggu, ia harus bertindak.
—
KPK, Kejaksaan, dan Polri: Saatnya Kembali ke Konstitusi
KPK seharusnya memulai penyelidikan atas dugaan korupsi perizinan di Pulau Gebe.Bila izin dikeluarkan dengan suap, gratifikasi, atau penyalahgunaan kewenangan, maka Pasal 3 dan 12B UU Tipikor jelas berlaku.
Korupsi lingkungan adalah korupsi terhadap masa depan rakyat.
Kejaksaan Agung, dengan mandat dominus litis, wajib menegakkan delik pidana lingkungan hidup sebagaimana Pasal 98–100 UU No. 32 Tahun 2009 (PPLH).
Penerbitan izin di wilayah larangan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan jabatan (Pasal 421 KUHP) dan perbuatan memperkaya diri sendiri (Pasal 3 UU Tipikor).
Sementara Polri, melalui Bareskrim Dittipidter, harus menertibkan aktivitas tambang yang melanggar hukum dengan Pasal 158 UU Minerba.
Bukan sekadar menyelidiki, tetapi menyegel lokasi tambang dan menghentikan operasi secara langsung.Polri bukan penjaga alat berat para pelanggar, tetapi pelindung masyarakat dari kerusakan lingkungan.
—
Hukum Bukan Alat Kekuasaan
Di sinilah kritik paling tajam perlu diarahkan:
bahwa KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian adalah lembaga yang berdiri di atas hukum bukan di bawah kekuasaan.
Mereka bukan pelindung pelanggar hukum, melainkan penjaga supremasi hukum dan perlindungan rakyat.
Komentar