Oleh :Dapur Redaksi
Rempah bukan sekadar aroma yang menguar dari dapur. Ia adalah jejak sejarah, sumber kekayaan, dan pangkal dari sebuah peradaban ekonomi yang pernah menjadikan Nusantara sebagai episentrum perdagangan dunia.
Di Maluku Utara, rempah adalah napas sejarah.Dari sinilah bangsa-bangsa Eropa menjejakkan kaki demi cengkih dan pala, memicu gelombang kolonialisme yang panjang. Kini, aroma itu kembali merebak bukan lagi sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai sumber kebangkitan ekonomi dan identitas budaya daerah.
Tauhid Soleman dan Institusionalisasi Rempah
Dalam konteks kebangkitan baru ini, sosok Dr. M. Tauhid Soleman, Wali Kota Ternate, memainkan peran penting. Ia bukan hanya menabalkan rempah sebagai slogan, tetapi menginstitusionalisasikan rempah sebagai identitas kota melalui program “Ternate Kota Rempah.”
Langkah ini menandai perubahan cara pandang: dari sekadar memandang rempah sebagai komoditas menjadi simbol identitas dan daya saing daerah.
Sejak awal masa kepemimpinannya, Dr. Tauhid mendorong seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menerjemahkan nilai rempah dalam kebijakan sektoral dari pariwisata, ekonomi kreatif, pendidikan, hingga tata ruang.
City branding “Ternate Kota Rempah” bahkan telah terdaftar resmi di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor registrasi IDM000984109.
Langkah ini menjadikan Ternate sebagai salah satu sedikit kota di Indonesia yang memiliki branding berbasis kekayaan intelektual (intellectual property-based city branding).
Menurut Kakanwil Kemenkum Maluku Utara, Budi Argap Situngkir, branding ini bukan hanya pelindung hukum, melainkan juga alat strategis untuk membangun ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis warisan budaya.
Dengan demikian, Ternate Kota Rempah bukan sekadar simbol, melainkan platform pembangunan ekonomi daerah berbasis identitas.










Komentar