Masalah terbesar dari kebijakan ini justru terletak pada landasan hukumnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, hak daerah atas dana bagi hasil dan alokasi umum dijamin secara tegas.
Dengan demikian, keputusan menteri yang memangkas TKD—tanpa revisi undang-undang—dapat dikategorikan bertentangan dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan.
Keputusan menteri, secara hukum tata negara, tidak memiliki kewenangan untuk mengubah substansi undang-undang.
Secara formil, kepala daerah memiliki legal standing untuk menggugat keputusan tersebut ke lembaga Peradilan yang berwenang yakni Mahkamah Agung yang berkompeten mengadili konflik hukum peraturan pemerintah terhadap undang-undang. Tetapi realitas politik menunjukkan dilema: siapa berani menggugat atasan tertinggi, Presiden Prabowo Subianto, secara terbuka?
—
Dilema Moral Kepala Daerah
Para kepala daerah kini berada di persimpangan. Menggugat berarti menantang arus kekuasaan dan mengambil risiko politik besar. Namun diam berarti membiarkan hak konstitusional daerah dikikis perlahan.
Otonomi daerah yang dulu diperjuangkan dengan semangat reformasi kini tampak memudar. Kepala daerah seolah kembali menjadi pelaksana kebijakan pusat, bukan lagi mitra sejajar dalam sistem pemerintahan desentralistik. Padahal, di pundak merekalah cita-cita pembangunan berbasis kewilayahan seharusnya tumbuh.
—
Kreativitas Fiskal: Solusi atau Sekadar Retorika?
Pemerintah mendorong daerah agar kreatif menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi bagaimana kreativitas itu bisa tumbuh, jika ruang kewenangan daerah terus menyempit akibat sentralisasi kebijakan?
Banyak potensi strategis—dari tambang hingga perikanan—masih dikendalikan pusat, sementara daerah hanya menerima bagian yang kecil.
Kemandirian fiskal bukan sekadar soal inovasi, tapi soal kepercayaan dan pembagian kewenangan yang adil. Tanpa itu, seruan “daerah harus kreatif” terdengar seperti ironi di tengah kebijakan yang justru mengekang mereka.
Komentar