oleh

TAK PUPUS DIRUNDUNG IRONI

-OPINI-258 Dilihat

Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Kita tak punya lagi air mata. Habis kata-kata. Juga gairah untuk menyongsong masa depan. Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Presiden RI ke-7 Joko Widodo menyeret Indonesia ke alam kedunguan yang mencengangkan. Mendorong kita masuk ke dalam labirin politik-ekonomi yang berbau busuk dan merusak. Alhasil, ia meninggalkan legasi yang membuat kita malu sebagai warga bangsa. Dan sengsara lahir-batin.

Awalnya pemilih Prabowo Subianto, pengganti Jokowi, melihatnya sebagai Ratu Adil, Imam Mahdi, Mesiah, atau Juru selamat. Orang ingat pada karya tulisnya “Indonesia Paradoks”. Indonesia “kaya” dalam semua aspek, tapi mayoritas rakyatnya miskin karena korupsi dan salah urus pemerintahan. “Saya akan perbaiki semuanya, dalam waktu singkat.” Pertumbuhan ekonomi ditarget minimal 8 persen sehingga RI akan menjadi negara maju yang demokratis.

Baca Juga  Potensi Anies Baswedan Reborn Di Tengah Gejolak Politik

Tapi begitu ia membentuk pemerintahan dengan kabinet gemuk untuk mengakomodasi menteri-menteri korup yang didesakkan Jokowi-oligarki, optimisme bangsa meredup. Ternyata Prabowo bukan Imam Mahdi. Bahkan, berpotensi melahirkan kerusakan baru. Nasionalismenya yang membuncah – termanifestasi melalui program-program populisnya – hanya menambah keresahan sosial.

Makan Bergizi Gratis berubah menjadi Makan Berbahaya Gratis. Hampir 6.000 siswa di 22 provinsi keracunan. Ironisnya, seorang menteri era Jokowi mengatakan, penyebabnya adalah rakyat miskin belum terbiasa makan enak. Yang masih percaya Prabowo adalah “Mesiah” melihat tiga kali reshuffle yang dilakukannya sebagai implementasi strategi “makan bubur panas”, yaitu membersihkan anasir Geng Solo dari pemerintahan.

Baca Juga  Mereligiuskan HUT RI sebagai Upaya Memperkuat Moral dan Jati Diri Kebangsaan

Tapi kemudian bingung sendiri karena menteri dan kepala institusi strategis masih ditongkrongi Geng Solo. Memang terjadi penggantian menteri keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya langsung tancap gas, mengubah kebijakan pedahulunya bahwa kebijakan “lama tapi baru ini” adalah satu-satunya obat mujarab untuk mengobati ekonomi yang sakit.

Ia banjiri likuiditas ke sistem perbankan saat daya beli masyarakat turun dan pengusaha sedang wait and see terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Ketika permintaan merosot, mustahil pengusaha akan meminjam uang untuk ekspansi perusahaan yang akan menyedot angkatan kerja. Itu yang dibayangkan Purbaya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *