oleh

Ekonomi Maluku Utara Wajah Pasal 33 UUD

-OPINI-435 Dilihat

BPS mencatat, industri pengolahan tumbuh 75,30%, disokong sektor pertambangan 48,38%, dan pasokan listrik dan gas 65,34%. Pesta pertumbuhan itu sebagian besar untuk mendukung ekspor barang setengah jadi, feronikel dan NHP yang dikirim ke Tiongkok. Hanya dalam satu kuartal, ekspor naik 51,17%.

Barang itu melintasi Samudera Pasifik menuju pabrik-pabrik Tiongkok, lalu kembali ke Indonesia dalam bentuk baterai dan mobil listrik dengan harga berlipat-lipat. Kita menjual bahan mentah murah, lalu membeli kembali barang jadi mahal. Ini seperti cerita lama kolonialisme, hanya kini dalam wujud baru.

Baca Juga  Serakahnomics dan Vampir Harga: Prabowo dan Jalan Baru Ekonomi Nusantara

Smelter Bukan Hilirisasi, Ini Transit House Ekonomi

Smelter-smelter di Halmahera hari ini bukanlah cikal bakal industrialisasi nasional. Ia hanyalah transit house ekonomi, pengolahan minimal sebelum barang dikirim ke luar. Tidak ada industri lanjutan di dalam negeri. Tidak ada penciptaan nilai tambah. Tidak ada pemberdayaan masyarakat lokal. Yang ada hanyalah polusi, konflik lahan, dan jalan rusak akibat truk-truk tambang.
Kolonialisme Model Baru

Baca Juga  Presiden Prabowo "Serakahnomics" Membongkar Luka Nusantara di Tengah Tambang

Apa yang dilakukan Tiongkok bukan semata investasi, tapi bagian dari strategi jangka panjang yang disebut outbound resource acquisition. Mereka mengakuisisi tambang dan smelter di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sambil menyiapkan industri hilir seperti baterai dan kendaraan listrik di dalam negerinya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *