oleh

Fiskal Gugus Pulau, Keadilan Anggaran di Negeri Seribu Pulau

-OPINI-596 Dilihat

Statistik Tanpa Topografi. Kajian Fiskal Regional yang dirilis rutin setiap tahun oleh Kemenkeu sejatinya adalah langkah baik. Namun KFR masih belum menyentuh substansi spasial-fiskal. Ia kaya angka, tapi miskin peta. Penuh tabel, tapi sepi refleksi spasial. Misalnya, belanja DAK Fisik ditampilkan sebagai agregat kabupaten, tanpa menunjukkan distribusinya ke desa kepulauan. Padahal, data dari BPS dan Kemenkeu menunjukkan bahwa desa-desa pulau di Halmahera Selatan, Taliabu, dan Morotai seringkali menerima alokasi infrastruktur lebih rendah, meski memiliki tantangan logistik lebih tinggi.

Baca Juga  DPR Dalam Pengawasan Rakyat

Dari Statistik ke Aksi Geospasial. Sudah saatnya Kajian Fiskal Regional direformasi menjadi “Kajian Fiskal Wilayah Pulau”, yang setidaknya memuat:
1. Peta spasial alokasi belanja APBD/APBN per pulau dan desa;
2. Indeks ketimpangan fiskal wilayah (Island Fiscal Equity Index);
3. Analisis efektivitas Dana Desa dan DAK berdasarkan kategori pulau: utama, menengah, dan terluar;
4. Simulasi belanja optimal berbasis kebutuhan geografis (bukan sekadar populasi).
Reformasi ini juga akan memperkuat evidence-based budgeting yang lebih inklusif, sejalan dengan arahan Sustainable Development Goals (SDG 10: Reduce Inequality) dan arahan RPJPN 2025–2045 tentang pemerataan wilayah.

Baca Juga  DEMONSTRASI PUBLIK DAN KRISIS KETIDAKPERCAYAAN EKONOMI

Negara Harus Menyeberang Lautan, Bukan Sekadar Melihatnya. Keadilan fiskal bukan hanya soal seberapa besar dana yang dikucurkan, tapi ke mana dana itu mendarat. Jika kajian fiskal hanya hadir di kabupaten/kota, dan absen di pulau-pulau terluar, maka kita tidak sedang membangun Indonesia Sentris, melainkan daratan Sentris dengan pinggiran lautan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *