oleh

REVISI UU TNI BUKAN LEGITMASI DWI FUNGSI ABRI

-OPINI-426 Dilihat

Dr King Faisal Sulaiman SH, LLM,. : Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Revisi terbatas UU TNI  yang baru disahkan DPR beberapa waktu yang lalu masih dalam kendali sprit reformasi 1998. Secara konstitusional, tidak ada celah apalagi indikasi upaya untuk menghidupkan kembali doktrin Dwi Fungsi ABRI sebagaiman rezim Orde Baru.

Hanya saja,  yang perlu dievaluasi adalah ruang partisipasi publik pada saat pembahasan yang relatif terbatas sehingga,menimbulkan banyak spekulasi dan sikap permisif publik. Namun, Persepsi yang berkembang bahwa, revisi UU TNI ini telah melegitmasi kembali doktrin Dwi Fungsi ABRI, menurut saya terlalu prematur  dan over spekulatif.

Sejarah kelam Dwifungsi ABRI di era Orde Baru cukup menjadi Pelajaran. Ketika itu, penguasa memberikan peluang TNI dan Polri menjadi anggota Dewan/MPR melalui penunjukan Presiden, tanpa dipilih melalui Pemilu seperti sekarang. Dan jumlah keanggotaan di MPR/DPR cukup tinggi kurang lebih 20 persen. Melalui kendali Presiden, jabatan-jabatan eksekutif seperti jabatan Gubernur, Bupati di isi oleh perwira TNI melalui sistem penunjukkan tanpa pemilu.Sekarang tidak adalagi celah legitimasi Dwi Fungsi ABRI dalam konstitusi maupun UU.

Dalam  revisi UU TNI, tidak ditemukan adanya, kalusul Pasal yang memberikan payung legitimasi bagi kebangkitan doktrin Dwi Fungsi ABRI. Jika dicermati komprehensif, hanya ada tiga Pasal yang direvisi yakni klausul Pasal 3, Pasal 47, junto Pasal 53.

Baca Juga  Pertarungan Politikus Saudagar, Birokrat dan Aktivis Politik di Perang Kota

Pertama, Pasal 3 terkait kedudukan dan koordinasi TNI di bawah Kementerian Pertahanan. Kedua, ketentuan Pasal 53 terkait batas usia pensiun menyesuikan usia pensiun rata-rata lembaga lain atau menyesuaikan kondisi saat ini.

Yang Ketiga, ketentuan Pasal 47 yang mengatur secara ketat dan tegas, lingkup jabatan apa saja di tubuh Kementerian/Lembaga sipil yang dapat diisi oleh militer atau prajurit TNI aktif.

Pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian dan lembaga menjadi 16. Yaitu di kementrian Politik Hukum dan Keamanan; Kementerian Pertahanan, Dewan Pertahanan Negara, Sekretariat Negara, Intelijen, Sandi Negara, Lemhanas, SAR, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Pengelola Perbatasan KKP, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejagung, dan Mahkamah Agung.

Beberapa jabatan di lingkungan lembaga sipil tersebut, memang sudah ditempati oleh TNI, karena relevan, sesuai dengan standar kompetensi dan profesionalisme yang dibutuhkan oleh Lembaga negara tersebut.

Sebagai ilustrasi, prajurit TNI dapat menduduki jabatan di Kejaksaan Agung karena sesuai Undang-Undang Kejaksaan, ada pos jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil).

Posisi ini dapat dijabat oleh militer karena memang inline dan simetris. Atau penanggulangan operasi kontra kejahatan teroris yang memerlukan bantuan dan sumberdaya dari ekstra TNI.  

Baca Juga  BADAI SERBIA JANGAN KE SINI

Panglima TNI saya yakin, tidak asal sembarangan dalam pemberian izin bagi perwira tingginya , tanpa ukuran profesionalitas dan integritas apalagi screening jejak rekam.Karena taruhannya juga menjaga harkat dan marwah Lembaga TNI di mata publik.

Dalam revisi UU TNI ini tidak ada klausul yang mewajibkan bahwa jabtan-jabatan di berapa kementrian/Lembaga negara tersebut wajib di isi oleh perwira aktif TNI.  Hanya, Jika diperlukan sesuai kebutuhan Lembaga sipil tersebut. Jadi tidak ada unsur imperative secara normative dalam UU. Menariknya dikunci dengan klausul dalam UU TNI,  yang mewajibkan perwira TNI aktif mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dini, demi menghindari konflik of interest.

Jadi sekali lagi, spekulasi dan kekhawatiran yang berlebihan bahwa revisi UU ini akan menghidupkan kembali doktrin Dwi Fungsi sulit dinalar secara logis dan yuridis. Justru yang perlu di soroti dan diawasi publik adalah RUU Kepolisian yang mungkin bentar lagi uda masuk pada pembahan prolegnas prioritas di DPR.

RUU Kepolisian ini jauh lebih menarik, karena sebagaimana dilansri beberapa media, saat ini diperkirakan sudah lebih dari 50 perwira tinggi Polri aktif yang diperbantukan dalam Kementerian/Lembaga negara terkait. Belum lagi beberapa krusial  point lainnnya dalam RUU Porli, yang perlu dikritisi elemen mahasiwa  dan civil society.

Baca Juga  SHERLY TJOANDA ANTARA GOOD GOVERNANCE dan BISNIS INTERES

Dalam spektrum UU TNI yang baru, ketatnya batasan klausul yang diatur menunjukkan, TNI masih taat pada tupoksi utamanya sebagai alat pertahanan negara dan tidak ingin mengambil kendali supremasi sipil dan masih tetap menjaga jarak dengan politik praktis.

Paradigma TNI pasca reformasi sudah mengalami perubahan signifikan.

Selain menyadari kesalahan Orde Baru yang menyeretnya masuk dalam gelanggang politik praktis, dengan  menjadikannya satu fraksi penuh di MPR serta dalam kendali hegemoni eksektif .

Pasca amandemen, UUD 1945 tidak membuka ruang paradigma Dwi Fungsi ABRI akan hidup. Ada mekanisme check and balances antara kekuasaan eksekutif; legislative dan yudikatif yang saling mengimbangi.  Di sisi lain, fungsi kontrol Ormas/kelempok civil society sebagai gerakan ekstra parlementer yang cukup kuat. Ini menunjukan, pasca amandemen UUD 1945, TNI tetap tunduk pada supremasi sipil. TNI dibentuk dari rahim supremasi sipil, tumbuh dan berkembang bersama rakyat, dan karenanya wajib tunduk pada supremasi kedaulatan rakyat sebagaimana amanat UUD 1945.

Program TNI manunggal dengan rakyat selama, ini telah memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Doktrin sistem pertahanan  rakyat semesta, menuntut perubahan paradigma TNI. Diperlukan  transformasi geo strategi pertahanan yang holistik untuk mengantisipasi dan mencegah ancaman konvensional ataupun non konvensional dalam berbagai sektor demi keutuhan NKRI.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *