Mungkin Anda tidak, tapi saya kasihan pada Jokowi. Ia dilumpuhkan oleh partainya sendiri. Kesalahannya adalah ia masuk ke dalam permainan yang tidak ia kuasai. Dan dengan kapasitas apa adanya. Memang kita diajarkan untuk bermimpi besar, tapi harus disesuaikan dengan talenta yang kita miliki.
Jangan sampai jomplang antara mimpi besar dengan modal untuk mencapainya. Ini yang terjadi pada Jokowi. Kasihan. Keinginannya banyak, tapi tak semua terpenuhi. Salah satu mimpinya yang buyar adalah keberhasilan menyelenggarakan ajang Piala Dunia U-20, yang diharapkan dapat meningkatkan pamornya dalam urusan pilpres mendatang.
Tak disangka-sangka, pada 29 Maret, sehabis berunding dengan Ketua PSSI Erick Thohir di Doha, Qatar, Presiden FIFA Gianni Infantino mencoret Indonesia sebgai host ajang sepak bola itu di beberapa kota di Indonesia, dimulai pada Mei mendatang.
Infantino tak mengungkap alasannya secara pasti, kecuali bahwa RI gagal krn “situasi yang terjadi saat ini”. Kendati jelas pembatalan itu terkait penolakan berbagai pihak di Indonesia terhdp timnas Israel, FIFA justru menyinggung Tragedi Kanjuruhan di Malang, yang menewaskan 135 penonton.
Ini adalah exit strategy FIFA untuk membatalkan RI sebagai tuan rumah ajang bergengsi itu. Badan federasi sepak bola dunia itu melihat pemerintahan Jokowi tak dapat menjamin keamanan timnas dan supporter Israel, serta tidak adanya keseriusannya menjalankan transformasi sepak bola pasca Tragedi Kanjuruhan.
Tapi terutama karena penolakan meluas publik Indonesia atas timnas Israe.Tidak hanya dari entitas-entitas Islam, tapi jugs kaum nasionalis, termsk PDI-P — konstituennya berbasis di Bali dan Jateng — yang menjadi venue pertandingan. Bali, tempat dilaksanakannya drawing, justru ditolak gubernurnya sendiri, I Wayang Koster. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo melakukan hal sama. Keduanya kader PDI-P.
Jokowi coba membela diri bahwa seharusnya politik tak dicampuradukan dengan olahraga. Tapi terkait Israel khususnya, alasan ini lemah. Tak heran, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto membantahnya dengaj merujuk pada amanat konstitusi dan legacy politik Bung Karno yang tegas menolak penjajahan di muka bumi.
Tapi mestinya FIFA tak bisa membuang Indonesia dengan alasan keamanan. Pertama, belum terjadi gangguan keamanan. Kedua, yang berhak menilai keamanan adalah negara tuan rumah.Sementara Erick telah meyakinkan Infantino bahwa keamanan timnas Israel dan supporternya dijamin.
Tapi diplomasi Erick tak dapat meyakinkan presiden FIFA itu. Pasalnya, ini isu sensitif bagi FIFA. Bagaimana kalau seiring perjalanan waktu isu ini membesar dan benar-benar menghadirkan ancaman keamanan, sementara tak ada waktu lagi untuk memindahkan event ini ke negara lain? Bgm pula bila satu saja pemain atau bahkan supporter Israel mnjadi korban kekerasan?
Kalau salah satu dari dua point itu terjadi, maka Infantino akan dikecam, dipecat, atau bahkan hukuman yang lebih berat dari itu. Citra FIFA pun akan tercoreng sebagai organisasi yang tidak profesional.
Maka, tak ada yang lebih logis dari membuang RI skarang juga mumpung masih ada kesempatan untuk diganti negara lain. Bagaimanapun, FIFA belum punya alasan legal untuk cabut dari Indonesia. Maka, Tragedi Kanjuruhan secara implisit dijadikan rujukan, bukan pada ancaman terhadap timnas Israel.
Tragedi Kanjuruhan, dilihat dari korban jiwa, merupakan tragedi terbesar sepak bola sepanjang sejarah. Dan meendapat liputan luas oleh media internasional. Tragedi itu bukan merupakan human error, melainkan kebodohan dala pengelolaan keamanan. Bhkan, aparat menabrak larangan FIFA untuk tidak menggunakan gas air mata di stadion.
Yang juga mengejutkan FIFA, tidak ada pertanggungjwban yang semestinya dari pihak penyelenggara di negeri ini. Semua ini menambah keyakinan Infantino, juga dunia luar, bahwa pemerintahan Jokowi memang tidak layak menghelat ajang sebesar piala dunia.
Alasan lain, FIFA mempertimbangkan dua hal berikut. Pertama, adanya agenda politik PDI-P dalam kasus ini, yaitu melemahkan Jokowi dan menghempaskan Erick dari arena pilpres. Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri tak ingin Jokowi berperan dalam penentuan capres-cawapres yang tak mendukung agenda PDI-P. Terutama dalam
mempromosikan dua jagonya: Erick dan Ganjar.
Sebelumnya, Mega telah menghantam Jokowi melalui Mahfud MD yang membongkar transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan. Ini karena Jokowi terkesan kuat masih berusaha meloloskan wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang berpotensi menabrak konstitusi.
Skandal pelanggaran moral, etika, dan martabat itu — yang sulit untuk tidak dikaitkan dengan keterlibatan pemerintahan Jokowi — diharapkan dapat mengganggu legitimasi Jokowi. Tak lama, Mega menyatakan tahu persis capres yang mengumpulkan harta melalui korupsi. Nampaknya, ia merujuk pada Ganjar, yang sempat diberitakan terlibat kasus megakorupsi e-KTP.
Erick juga perlu dihantam karena ia terus dipromosikan Jokowi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melantiknya sebagai ketua penyelenggara Piala Dunia U-20. Ini tentu saja ajang sangat bergengsi, yang kalau berhasil, akan mengerek secara signifikan elektabilitas Menteri BUMN kepercayaan Jokowi itu.
Kengototan Erick agar RI tetap menjadi host ajang itu justru menunjukkan sikap tak bertanggung jawab.Memang akibat pembatalan itu, Indonesia menanggung banyak kerugian. Selain ekonomi, dunia internasional melihat pemerintahan Jokowi diolah secara amatiran.
Dengan maksud menaikkan elektabilitasnya, Ganjar ikut menolak kedatangan timnas Israel. Harapannya, umat Islam bersimpati kepadanya. Sikap Ganjar yang menampar wajah Jokowi ini menunjukkan ia telah berbalik badan dari bosnya itu. Sulit untuk mengatakan ini inisiatif Ganjar sendiri. Bisa jadi ia diperintahkan atasannya dengan imbalan ia akan dicapreskan PDI-P.
Jokowi terpukul semakin telak karena pencoretan RI oleh FIFA memperlihatkan inkompetensinya mengelola konflik domestik dan rapuhnya dukungan politik kepadanya. Dus, dengan melumpuhkan Jokowi dan Erick sekaligus, Mega berharap semua rekayasa Jokowi terkait perpanjangan masa jabatannya dan pilpres dapat diredam. Kasihan Jokowi.
Hasilnya mulai kelihatan. Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Wakil Ketum PPP Rusli Effendi baru-baru ini memenuhi undangan buka puasa bersama di Nasdem Tower di mana keduanya duduk bersama dan mendiskusikan pilpres bersama Anies Baswedan, JK, dan semua ketua umum parpol yangs tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Koalisi ini musuh besar Jokowi karens mengusung Anies sebagai antitesanya. Sebelumnta Golkar dan PPP, bersama PAN, didorong Jokowi membentuk KIB untuk menjadi sekoci bagi Ganjar.
Kedua, pembatalan FIFA bisa jadi juga merupakan permintaan Israel sendiri. Saat ini pemerintahan ekstrem kanan Israel di bawah PM Benjamin Netanyahu sedang menghadapi ujian berat dari publiknya sendiri.
Masyarakat Israel terbelah terkait upaya pemerintah merombak sistem peradilan di negara itu guna melemahkan kekuatan yudikatif. Para penentang melihat itu sebagai upaya Netanyahu membebaskan diri dari tuduhan korupsi dan suap. Juga demi menjaga sistem demokrasi dari kemerosotan.
Ini berhubungan dengan penyelidikan Mahkamah Agung Israel yang masih terus mengusut kasus Netanyahu itu. Ditolaknya timnas Israel, apalagi kalau ada warga Israel yang jatuh korban, kemarahan publik terhadap Netanyahu bakal semakin membesar karens mencerminkan kegagalan diplomasinya.
Di pihak lain, kekerasan Palestina dan Israel terus bereskalasi. Pembunuhan penjajah Israel atas warga Palestina nyaris setiap hari berpotensi merusak atmosfir ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia. Artinya, kekerasan Israel-Palestina dapat merembet ke Indonesia.
Apalagi kalau meletus lagi perang Israel-Hamas di Jalur Gaza. Potensi itu cukup besar, terutama bila Israel tidak menghentikan operasi militernya di daerah pendudukan dan provokasinya di Masjid al-Aqsa.
Pembatalan FIFA atas host Indonesia, yang kalau dikaitkan dengan isu timnas Israel, juga merugikan pemerintahan Netanyahu karena menggambarkan resistensi negara Islam terbesar di dunia ini masih sangat besar.
Pdhal, Netanyahu sering berkoar tentang keberhasilannya menormalisasi hubungan diplomatik dengan beberapa negara Islam pada 2020, dan berjanji akan menambah anggota dalam Perjanjian Ibrahim (Abraham Accord) itu. Salah satu negara target adalah RI.
Bila FIFA mempertahankan RI sebagai tuan rumah tapi kemudian menjelang ajang dimulai timnas Israel tertolak karena tekanan politik atas pemerintahan Jokowi, maka Netanyahu akan dikecam di dakam negeri, yang dpt berujung pada mosi tidak percaya di parlemen (Knesset) yang dapat berujung pada penjatuhan pemerintahannya.
FIFA juga dikecam lantaran tidak mampu menegakkan supremasinya sebagai entitas independen yang berkuasa penuh atas semua event sepak bola resmi. Untuk menyelamatkan muka Netanyahu, lebih baik FIFA yg membatalkannya ketimbang timnas Israel ditolak oleh pemerintahan Jokowi.
Tapi pukulan trhdp Jokowi — yang berdampak pada publik Indonesia — tidak sampai di situ. FIFA juga akan menjatuhkan sanksi berat atas Indonesia berupa larangan ikut ambil bagian dalam kompetisi di bawah naungan FIFA. Juga dengan tidak diakuinya kompetisi Liga 1, Liga 2, dan Liga 3.
Kondisi serupa terjadi pada Indonesia disanksi FIFA pd 2015 sampai 2016. Tentu kita sedih bila hal ini terjadi.
Tapi semua bersumber dari ketidakcermatan Jokowi membaca dinamika politik nasional, tidak mampu mengukur kemampuannya sendiri, inkonsistensi membela Palestina, dan secara naif memisahkan olahraga dari politik. Kasihan Jokowi.
Tangsel, 1 April 2023.