OPINI

INFO A1, REAKSI INTERNAL, DAN RESPONS GLOBAL

Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

 

Kemarin, 15 April, berita mengejutkan datang dari Ketum Partai Masyumi Dr Ahmad Yani. Dalam dialog Ramadhan yang diselenggarakan di kantor DPP Bronies, Yani mengaku punya info A1 terkait upaya penjegalan bacapres Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Sebenarnya upaya penjegalan Anies bukan lagi berita. Tapi karena Yani mengklaim ini info A1, tak ada salahnya kita membahasnya, sekaligus melihat kemungkinan resiko internal maupun internasional bila apa yang disampaikan Yani jadi kenyataan.

Infonya begini. Potensi kegagalan Anies untuk dicapreskab pada pilpres mendatang sangat besar. Variabel Anies bukan hanya variabel “hijau”, tapi juga variabel sistem, yaitu presidential threshold (PT) 20%. KPP — terdiri dari Nasdem, Demokrat, PKS — memiliki PT 28%. Bila salah satu dari tiga parpol ini membatalkan dukungannya, otomatis Anies gagal nyapres.

Potensi mundurnya salah satu parpol bisa dari sebab pengajuan peninjauan kembali oleh KSP Moeldoko yang sedang berusaha membegal Demokrat. Anies juga bisa ditinggalkan Demokrat karena mantan Ketum Demokrat Anas Urbaningrum telah menyatakan akan buka-bukaan soal kasus Hambalang.

Konon, kasus itu melibatkan Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas), putera SBY. Tapi Ibas tak pernah diproses hukum. Nasdem juga berpotensi mencabut dukungan pada Anies terkait tekanan rezim Jokowi. Dipresdiksi, Nasdem tak akan bertahan mendukung Anies bila dihadapkan pada pilihan banyak anggota partai itu akan dipenjarakan.

Yang lebih spektakuler, rezim menggunakan instrumen hukum, yaitu KPK. Pertarungan di lembaga antirasuah ini sedang berlangsung. Kalau kubu Firli Bahuri menang — dia pasti menang — Anies jadi tersangka. Bukan pada kasus Formula-E, tapi kebijakan-kebijakan yang dipandang menguntungkan pihak lain ketika Anies menjabat sebagai Gubernur DKI.

Menurut info A1 itu, penjegalan Anies itu tak berresiko. Berdasrakan hasil survey yang tak diumumkan, apapun yang akan dilakukan rezim tak akan ada perlawanan rakyat. “Mereka sudah tes ketika pembunuhan 6 laskar FPI,” katanya. Ini disetujui Alfian Tandjung yang ikut dialog itu. Kata Alfian, ditinjau dari aspek militansi, masyarakat Indonesia lemah karena banyak unsur pragmatisme.

Kita tak harus percaya pada info ini. Terlebih, penyamaan reaksi rakyat ketika laskar FPI dibunuh dengan reaksi yang muncul bila Anies dijegal tidak apple to apple. FPI adalah entitas yang banyak musuh dan pendukungnya relatif “kecil”. Sementara, penjegalan Anies akan menjadi kasus politik berdimensi nasional dan internasional. Namun, anggap saja info yang disampaikan Yani benar.

Kendati demikian, tindakan rezim menjegal Anies harus  berpijak pada motif yang rasional berdasarkan pada faktor-faktor yang objektif. Paling tidak, ada empat faktor objektif. Pertama, Anies dilihat sebagai antitesa Jokowi. Dengan demikian, tidak mungkin mengharapkan ia melanjutkan begitu saja semua kebijakan pembangunan Jokowi. Tidak mungkin pula Anies akan menjamin keselamatan Jokowi dan keluarganya. Proses hukum akan dibiarkan berjalan apa adanya.

Kedua, rezim Jokowi pasti meninggalkan banyak masalah. Di antaranya, KKN, utang yang menggunung, kemunduran ekonomi, hukum, demokrasi, dan konstitusionalisme negara. Isu-isu ini sangat  kasat mata dan umumnya berkelindan dengan oligarki politik dan ekonomi. Dus, berpotensi menjerat Jokowi dan kroni-kroninya.

Kendati mustahil Anies dengan sengaja membongkar masalah-masalah ini dan membawanya ke meja hijau, bagi pelaku kejahatan yang berpikir serba politis, pelanggaran-pelanggaran yang mungkin mereka lakukan dapat dimanfaatkan Anies untuk meningkatkan populeritas pemerintahannya. Terlebih, isu oligarki telah mnjadi common enemy rakyat.

Ketiga, Anies berpeluang memenangkan pilpres. Menurut Refly Harun, pakar hukum tatanegara, dia mendapat  info dari teman bahwa sebenarnya hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey yang tidak diumumkan, elektabilitas Anies jauh melampau Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Hasil jajak pendapat terakhir lmbaga survey LSI Denny JA, mengungkapkan bila Anies dipasangkan dengan  AHY, maka mereka akan mengalahkan Prabowo dengan pasangannya dan Ganjar dengan  pasangannya. Tidak mesti info dari Refly dan hasil survey LSI akurat. Namun, fenomena ini menjelaskan Anies adalah kompetitor serius bagi bacapres-bacapres lain. Upaya pembentukan koalisi besar yang diinisiasi Jokowi untuk melawan Anies menggambarkan hal itu.

Keempat, Anies mendapat simpati negara-negara demokrasi di Amerika Utara, Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Dukungan mereka, khususnya AS, terkait dengan persaingan AS dan Cina di Indo-Pasifik. Dalam konteks ini, Indonesia jadi rebutan karena lokasinya yang sangat strategis, pasarnya besar, dan sangat  krusial dari sisi militer. Karena itu, Cina serang menincar Indonesia untuk dijadikan sekutu yunior.

Fenomena ini terlihat dari fakta-fakta berikut. Terkait pilpres, tahun lalu Dubes AS Sung Yong Kim mengunjungi markas PKS, partai yang mengusung Anies. Pesan yang dikirim Kim kepada rezim adalah bahwa  AS tak lagi bermasalah dengan  Islam.

Beberapa bulan sebelumnya, April 2022, Kemenlu AS merilis laporan tahunan pelanggaran HAM di berbagai negara. Untuk Indonesia, laporan itu menyatakan pembunuhan 6 laskar FPI adalah unlawful killing. FPI merupakan pendukung Anies. Lalu, pada akhir 2020, dalam ceramahnya di hadapan tokoh Nahdlyin dan jamaahnya di Ancol, Jakarta, Menlu AS Mike Pompeo mengungkapkan kekecewaan AS pada PBNU yang menjalin hubungan akrab dengan  Cina yang menindas etnis Muslim Uighur.

Terakhir, AS menolak memberi subsidi hijau pada industri nikel kita. Padahal, melalui UU Inflation Reduction Rate, AS berkomitmen memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Namun, insentif ini tidak berlaku bagi mobil listrik kita yang menggunakan baterei berbahan nikel karena dominasi perusahaan Cina dalam industri nikel RI.

Fakta-fakta ini menunjukkan AS tidak happy dengan kebijakan rezim Jokowi terhadap kubu Islam konservatif dan mereka yang kritis terhadao kebijakan rezim yang pro-Cina. Kubu ini juga kritis terhadap kerja sama ekonomi RI-Cina yang berat sebelah. Misalnya, dibukanya pintu lebar-lebar bagu masuknya buruh kasar Cina dalam jumlah besar di proyek tambang nikel Cina di berbagai daerah. Para ekonom senior mengatakan, yang meraup untung besar dari proyek-proyek ini adalah Cina dan oligarki. Negara tak mendapat  apa-apa.

Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)Terkait proyek infrastruktur yang didanai Cina, publik daam negeri sedang marah pada rezim Jokowi akibat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (JCJB) dipandang dikadali Cina. Proyek ini sejak awal sudah bermasalah. Yang mmbuat publik makin marah, pembengkakan biaya proyek dibebankan pada Indonesia. Cina siap memberi utang baru tapi dengan bunga tinggi (3,4%) dan harus dijamin oleh APBN.

Kelompok yang kritis terhadap Cina kebanyakan bersimpati pada Anies. Dus, dukungan AS dan negara demokrasi lain pada Anies mendapat pembenarannya. Alasan prinsipil lain yang menjelaskan dukungan negara-negara demokrasi adalah: Indonesia akan menjadi negara yg lebih mandiri dan demokratis di bawah pemerintahan Anies karena ia akan mengintegrasikan kelompok yang kritis pada Cina kedalam pemerintahannya. Kedua, Anies berbagi nilai dengan  negara-negara demokrasi. Melalui karya-karya tulisnya di jurnal-jurnal ilmiah internasional, dan kinerja yang ditunjukannya ketika memimpin Jakarta, terlihat Anies adalah pendukung sistem demokrasi yang genuine.

Faktor-faktor ini krusial di mata negara-negara demokrasi manakala sistem otoritarian Cina mulai dilirik banyak negara Dunia Ketiga. Kendati dilahirkan sistem demokrasi, rezim Jokowi kurang menghargai demokrasi. Itu terlihat dari pemenjaraan kaum kritis, pembubaran ormas, DPR yang tidak berfungsi secara semestinya karena adanya instrumen recall.

Lebih  daripada itu, rezim Jokowi hendak memperpanjang masa jabatan, memperalat KPK untuk menyingkirkan lawan politik dan menggunakan KSP Moeldoko untuk membegal Demokrat. Bila Anies jadi presiden, konsolidasi demokrasi akan menguat yang pada gilirannya, RI bisa menjadi contoh berjalannya demokrasi di negara Muslim.

Dus, kalau info A1 itu terwujud, presiden pengganti Jokowi yang pro-status quo kemungkinan akan menghadapi tekanan dari negara-negara demokrasi anti-Cina. Bisa jadi presiden terpilih tak diakui bilamana legitimasi pilpres dipertanyakan, terutama bila pendukung Anies memboikot pilpres.Hal ini akan mendestabilisasi negara.

Di tengah tekanan eksternal ini, sangat mungkin gejolak sosial-politik domestik membesar disebabkan akumulasi persoalan serius yang dihadapi bangsa. Bahkan, mahasiswa, buruh, rakyat yang semakin miskin, dan kaum intelektual akan turun ke jalan. Bukan karena mereka semua adalah pndukung Anies, tapi mereka melawan pembusukan negara.

Penjegalan Anies dengan  cara apapun, tidak akan bisa diterima. Bkn karwna Anies seorang malaikat yang tak mungkin bersalah. Tapi niat jahat sehak awal, pemaksaan kasus, motif yang vulgar, dan hilangnya kepercayaan pada rezim, membuat penzaliman terhadap Anies akan mengantarkan Indonesia ke tebing krisis multidimensi.

Yang paling mengkhawatirkan, ekonomi nasional akan terpukul hebat kalau negara-negara demokrasi menjatuhkan sanksi. Kalau ini terjadi, Cina tak akan menolong kecuali memberi utang dengan bunga tinggi. Rezim yang kepepet tak punya pilihan lain kecuali menerimanya.

Kalau demikian, hal yang kita remehkan sebelumnya, yakni perangkap utang Cina yang sudah lama diperingatkan AS, jadi kenyataan. Ujungnya, kita jadi kacung Cina. Hal ini, yang kemarin tak terbayangkan, sekarang menjadi mungkin karena kita berhadapan dengan rezim yang panik. Orang panik biasanya bertindak irasional. Dus, turbulensi politik yang dialami Sri Langka — yang disebabkab terjerat utang Cina, korupsi, dan salah urus pemerintahan — berpotensi terjadi  juga di sini. Wallahu’alam bissawab.

Tangsel, 16 April 2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *