Dia hanya sebuah Bangunan kecil.Tak ubahnya Sabua,yang dalam terminologi Tidore,berarti Gubuk.Sekurang-kurangnya,tak jauh dari defenisi itu.Dibilang semi parmanen,tak ketemu.Di setarakan dengan bangunan BTN juga,tidak ada typenya.Rumah Sangat Sederhana Sekali [RSSS] sekalipun,tidak,kalau ada itu.Tapi letaknya agak strategis.Di jalan A.Malawat,samping Open Space dan di kelilingi banyak bangunan kantor pemerintah.Rindangnya pepohonan di sekitarnya,melengkapi daya tarik untuk di kunjungi,disamping menunya yang murah-meriah tetapi punya cita rasa yang tak kalah bersaing.
Cafe Djoung di Tidore.Dia adalah buah dari kegelisahan sekelompok anak muda,mahasiswa dan aktivis kala itu,di periode pertama pemerintahan Achmad Mahifa-Salahuddin Adrias,hasil pemilihan langsung pertama kali,2005-2010.Cafe ini berdiri di akhir 2006.Dia hadir untuk memaksudkan turut “memeriahkan” dialektika sebuah kota yang menuntut peran “kelas menengah” terpelajar untuk jadi bagian dari lokomotif dan pendorong perubahan.Bermula dari kedai “ketapang”,yang letaknya di pantai Tugulufa,sebelum dibongkar untuk modernisasi kawasan ini.Kedai ini bisa di bilang memberi “ruh” dan inspirasi cafe Djoung.
Dari beberapa sumber,bangunan awalnya berkonstruksi “bire teto”,sebuah kontruksi khas dari bahan bambu yang di ancak.Dikerjakan oleh sekelompok pengrajin di dusun Kusubirahi kecamatan Tidore Timur.Seorang karib menyebut biayanya kala itu 3.5 juta rupiah.Tak lama bertahan,beberapa waktu kemudian di hantam puting beliung dan robaoh, rata dengan tanah.
Komentar