By.Alwi Sagaf Alhadar/Ketua KPID Malut & Budayawan.
Benar kata pepatah Melayu, “patah tumbuh hilang berganti”. Artinya, sesuatu yang telah hilang, kelak akan ada gantinya. Entah itu kapan. Dalam bahasa populer sehari-hari sering disebut regenerasi.
Begitu pula yang terjadi di jagat seni musik gambus di kota Ternate. Walau jeda waktu antara keduanya terbilang cukup lama. Lebih dari setengah abad. Satunya (OG Al-Fadjar) berwara-wiri di era 50an , sedangkan yang lain (OG Al-Falah) mulai eksis di awal era millenium. Namun kedua orkes gambus ini tetap berkelindan pada poros irama yang sama.
Kala itu, irama musik yang “difungsikan” sebagai media dakwah ini berkutat hanya di pusat kota Ternate. Mulai dari Kampong Makassar (utara), Kampong Tenga’ (tengah), dan Falajawa (selatan).
Aroma Timur Tengah kembali terasa di bumi Ternate Majang. Petikan gambus, irisan biola serta tabuhan gendang dan tabla bertalu-talu kontan menggerakkan kaki bagi yang mendengarnya. Gerakan ini tentu tanpa disadari. Mungkin saja daya magis dari alunan irama gambus itu sendiri yang menggerakkan nurani pemain yang serta-merta ikut pula menghipnotis penontonnya. Siapa bilang hanya irama dari Barat saja yang bisa mengajak orang untuk bergoyang?
Untuk pertama kalinya Orkes Gambus Al- Falah memproklamirkan diri mereka di hadapan publik. Tepat hari kedua Idul Adha 1422 H/Februari 2002. Di samping Masjid Al-Amien, Falajawa ll, Ternate Selatan. Bermodalkan sebuah gambus, marwas, biola electric, rebana, tabla serta electone dan ditunjang dengan seperangkat sound system mutakhir, anak-anak muda dari Falajawa ini membuat malam itu terasa begitu pendek.
Bagaimana tidak, hingga lewat tengah malam, penonton enggan untuk tinggalkan tempat duduk mereka. Sedangkan yang tak kebagian kursi pun rela berdiri untuk menyaksikan suatu tontonan yang memang amat jarang terjadi di Ternate.
Lagu demi lagu silih berganti didendangkan. Malam semakin larut, justru suasana bertambah meriah. Berbeda dengan seniornya yang juga mengandalkan biduanita, OG Al-Falah pimpinan Noval Al-Ammari ini juga memiliki kelompok tari para pemuda.
Tiba-tiba empat pemuda turun melantai di atas hamparan karpet berwarna merah. Tepat di bawah panggung. Mereka peragakan tarian dana-dana yang dinamis. Dan tarian pun berlangsung terus secara estafet, diiringi aneka lagu berirama campuran. Timur Tengah dan Melayu.
Terkadang langkah kaki diperlambat. Namun secara tak terduga gerakan badan bisa berubah drastis 180 derajat ikuti alunan irama yang menghentak-hentak. Sampai- sampai nampak sang penari itu terkesan seperti orang sedang histeris. Juga in trance. Namun mereka tetap tampil dalam koridor kesantunan. Berbusana serba putih. Mereka peragakan suatu tarian yang kental dengan nilai Islami.
Adalah Riyad Al-Ammari (ayah Noval) yang memprakarsai dan memodali berdirinya OG Al-Falah ini. Ia melihat potensi besar yang dimiliki pemuda di lingkungannya. Bakat mereka, menurut pemilik Hotel Archie Group ini sangat disayangkan kalau tidak dikembangkan.
Walau masih seumur jagung, namun kelompok ini sudah patut mendapat acungan dua jempol tinggi-tinggi. Sebab setiap penampilan mereka selalu mendapat antusias yang besar dari penggemarnya.
Namun kini, seiring rotasi waktu, kelompok ini tak eksis lagi. Biasa, alasan klasik. Akibat kesibukan masing- masing personil.
Akhirul kalaam, siapa tau kelak makna pepatah Melayu di atas kembali bertuah?
Wallahu A’lam….
Alwi Sagaf Alhadar