Luhut adalah sahabat bisnis Jokowi sejak Jokowi masih menjabat Walikota Solo. Penentangan Mega dan Paloh terhadap Luhut mengisyaratkan dua hal. Pertama, mereka sangat mengenal watak Luhut yang ambisius. Kedua, mereka tak percaya Jokowi yang lemah dapat mengendalikannya.
Di kemudian hari, apa yang ditakutkan keduanya jadi kenyataan. Karena sangat bergantung pada visi dan otaknya, Luhut menjadi penguasa sesungguhnya di pemerintahan Jokowi. Menteri-menteri PDI-P dan Nasdem pun tak berkutik di hadapannya.
Kebenciannya Mega terhadap Luhut kian mengkristal karena Jokowi ternyara lebih patuh pada Luhut ketimbang dirinya. Lebih sial lagi, teater politik nasional hari ini tak berpihak pada PDI-P. Kalau saja partai ini punya aspiran capres sendiri dengan elektabilitas tinggi, mungkin saja ia mencapreskan kadernya tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain yang, di luar Nasdem, Dempkrat, dan PKS, telah dicemari tangan Luhut.
Sementara faktanya, elektabilitas Puan Maharani, yang sudah lama dipersiapkan Mega untuk kelak menduduki jabatan RI1 atau RI2, hingga kini masih jeblok. Padahal, waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya tinggal sedikit.
Sebenarnya PDI-P punya kader populer dan konsisten berada di tiga besar sebagai aspiran capres bersama Prabowo dan Anies. Namun, lagi-lagi Ganjar adalah orang Jokowi (baca: Luhut). Karena merupakan pasien rawat jalan sebagaimana Cak Imin, Hartarto, dan Zulhas, Ganjar berada di bawah ketiak Luhut.
Sekiranya ia jadi presiden, di mata PDI-P akan terjadi deja vu: pengalaman dengan pemerintahan Jokowi yang dikendalikan Luhut akan terulang. Ganjar akan juga merekrut Luhut ke dalam kabinetnya sebagai balas budi. Inilah yang menjelaskan mengapa PDI-P bukan saja menjauhi Gabjar, tapi juga membunuh karakternya.
Bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga tak memungkinkan karena koalisi ini milik Luhut. Dialah yang membentuknya. KIB yang digadang-gadang akan mencapreskan Ganjar, sehingga diharapkan akan memaksa PDI-P bergabung ke dalamnya, gagal total. Tanpa dukungan PDI-P, nilai jual KIB bersama Ganjar tidak signifikan. Kalau PDI-P bersedia bergabung dengan KIB asalkan kader partai itu — di luar Ganjar — menjadi capresya (misalnya, Puan), syarat ini tidak akan diterima karena di luar Ganjar PDI-P tak punya kader potensial untuk memenangkan pilpres.
Sepintas nampak Luhut di mana-mana. Namun, terbukti kemudian, Luhut tak sepenuhnya menguasai panggung karena ia tak mengendalikan Paloh. Luhut tak berpikir pentingnya mengendalikan Paloh mungkin karena dia sudah merasa aman, selain tak mudah menundukkan tokoh ini tentunya. Ia tak membayangkan suatu hari Paloh akan berpaling ke Anies, yang pada pilgub DKI Jakarta 2017 Nasdem mendukung Ahok, bukan Anies.
Terlebih, sebelumnya Nasdem yang memiliki media arus utama ikut mengamplifikasi Anies sebagai pengusung politik identitas. Nasdem tak punya pilihan lain karena Anies satu-satunya aspiran capres potensial yang berada di luar orbit Luhut. Pada saat yang sama, setelah lima tahun memimpin Jakarta, tuduhan politik identitas tidak terbukti.
Komentar