oleh

ANIES, OLIGARKI, DAN SISTEM

Ada orang-orang terpelajar yang pesimistis pilpres mendatang — siapa pun yang terpilih — dapat mengubah kondisi negara yang kini morat-marit. Sikap ini bertolak dari premis bahwa capres tidak mungkin bebas dari cengkraman oligarki karena pilpres berbiaya besar dan sistem mendukungnya.

Dua variabel inilah yang melahirkan pemimpin jongos oligarki yang mengabaikan jiwa konstitusi. Dan selamanya akan tetap begitu sepanjang konstitusi yang bersemangat neoliberal setelah diamandemen tidak dikembalikan ke UUD 45 asli yang berpijak pada sosialisme.

Premis ini punya kekurangan dan ada preseden yang menunjukkan sistem baru hasil amandemen konstitusi dapat juga melahirkan pemimpin berkualitas yang bebas dari kendali oligarki. Salah satunya adalah ketika Anies Baswedan memimpin Jakarta. Dalam posisi underdog, ia justru memenangkan pilgub 2017 tanpa ikatan oligarki.

Sebaliknya, ia justru melawannya. Proyek reklamasi milik oligarki ia hentikan karena merugikan lingkungan dan nafkah nelayan kecil. Pemilu di Indonesia memang mahal dan diakui tidak mudah menghindari peran oligarki.

Baca Juga  Negara Dharurat Oligarki

Tetapi Anies membuktikan hal itu bisa dilakukan dgn cara yang mengejutkan kita. Ketika kampanye dimulai, ada yang menyumbang (piutang) Rp 50 miliar dengan syarat yang tak lazim bahwa sumbangan itu akan dianggap utang bila Anies kalah dalam kontestasi pilgub.Sebaliknya, sumbangan itu tak lagidianggap utang bila ia menang.

Biasanya caleg atau calon eksekutif berutang pada pemodal apapun hasil pemilu. Bila calon eksekutif menang utang akan dibayar dengan proyek atau uang hasil korupsi. Caleg yang menang utang akan dibayar dengan produk UU yang berpihak pada pemodal. Bila kalah, mereka masuk penjara atau jadi gila karena terbebani utang.

Apa yang mendasari perjanjian Anies dengan pemodal yang tak lazim itu? Ia berargumen begini: bila kalah, ia dapat melunasi utang dengan berbisnis. Bila menang, utang itu dianggap lunas karena selama menjabat ia tak punya waktu dan kesempatan untuk mencari uang.

Baca Juga  Video Hasto, Apakah Pepesan Kosong?

Untuk kasus Anies bisa diambil hikmah bahwa pemimpin bisa bebas dari cengkraman oligarki bergantung pada pikiran yang kreatif dan komitmen dedikasi kepada kepentingan seluruh rakyat sesuai amanat konstitusi.

Dua, sistem yang berlaku sekarang bisa melahirkan tata kelola pemerintahan yanh baik. Pemerintahan Jokowi menjadi amburadul karena ia berutang besar kepada oligarki dengan janji utang akan dibayar kalau ia memenangkan pertarungan tanpa berpikir panjang pada dampak yang ditimbulkannya.

Menimbang kasus Anies dan Jokowi, membuat kita daoat menarik kesimpulan bahwa bukan sistem yqnh salah, melainkan karakter, kapasitas, dan komitmen pemimpin yang harus berkhidmat pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Baca Juga  Ditinggal Jokowi, PIK 2 Dihajar Massa

Tetapi penting bagi kita untuk membahas dua alasan yang mendasari sikap mereka yang pesimistis terhadap hasil pilpres mendatang.

Pertama, anggapan bahwa permasalahan bangsa hari ini disebabkan konstitusi hasil amandemen telah menyimpang dari UUD 45 asli.

UUD 45 asli memang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan menyusun GBHN yg akan dijalankan mandataris MPR, yaitu presiden. Dus, mereka menolak pemilu di mana rakyat memilih presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara langsung.

Sebelum diamandemen, pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup di mana rakyat hanya memilih partai yang calon anggota parlemennya ditentukan oleh partai. Anggota parlemen yang terpilih, plus utusan daerah dan golongan, akan menjadi konfigurasi MPR.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *