oleh

DEMONSTRASI PUBLIK DAN KRISIS KETIDAKPERCAYAAN EKONOMI

-OPINI-493 Dilihat

Oleh: Sofyan Abas, Dosen Ekonomi dan Keuangan UMMU Ternate

Indonesia memiliki memori kolektif tentang krisis 1998—krisis multi-dimensi yang melahirkan runtuhnya tatanan ekonomi dan politik. Hari ini, ketika gelombang demonstrasi meletup di berbagai daerah, kita tidak sedang menyaksikan kemarahan yang muncul secara spontan tanpa akar. Aksi massa ini sesungguhnya merupakan manifestasi dari satu penyakit yang lebih dalam: ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi dan arah tata kelola negara.

Baca Juga  Surat Untuk Bupati Bassam : Halsel Satu Harga: Menjawab Tantangan Hidup di Pulau-Pulau Kecil

Inti dari kemarahan rakyat sederhana namun mendasar: “isi perut” yang semakin sulit. Ketika kebutuhan dasar, lapangan kerja, dan kesempatan ekonomi terasa tergerus, toleransi publik terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak cepat menyusut. Demonstrasi yang terjadi adalah akumulasi dari banyak masalah—kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi riil rakyat, persepsi keadilan yang rusak, dan rasa bahwa keputusan penting dibuat jauh dari kontrol publik.

Baca Juga  Salah satu sebab Chaos Nasional karena Kasus Ijazah Joko Widodo?

Beberapa sumber utama ketidakpuasan itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kebijakan fiskal dan prioritas anggaran yang kontroversial
– Ketika isu kenaikan pajak, pengalihan alokasi anggaran, atau program besar seperti MBG (dengan besaran yang menjadi perdebatan publik) tampak menekan ruang fiskal untuk subsidi sosial dan beasiswa, publik bertanya: siapa yang paling dirugikan dan siapa yang diuntungkan?
– Keterbatasan anggaran untuk program beasiswa dan pendidikan kontras dengan pengeluaran yang dipersepsikan tidak langsung menguntungkan rakyat.

Baca Juga  Jadi Juara, PKS Kompromistik Di DKI

2. Ketidakadilan dan lemahnya penegakan hukum
– Kasus-kasus korupsi besar yang belum memberikan rasa keadilan menimbulkan kegeraman. Rasa impunitas mengikis kepercayaan dasar warga kepada lembaga penegak hukum.
– Lambatnya pengesahan atau penerapan instrumen hukum, misalnya undang-undang perampasan aset hasil tindak korupsi—memperpanjang ruang bagi ketidakadilan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *