Frasa ini tidak multitafsir. Tidak dibubuhi embel-embel “sementara”, “sementara waktu”, atau “dapat berubah”. Dalam logika hukum, jika suatu norma perundang-undangan telah menyebutkan secara eksplisit sebuah ketentuan, maka itulah ketentuan yang berlaku hingga ada perubahan melalui peraturan yang setara atau lebih tinggi. Maka, menganggap Sofifi sebagai “ibu kota imajiner” atau tidak sah adalah upaya pembelokan terhadap ketentuan hukum positif yang berlaku.
Tapi kini, datanglah sekelompok orang. Dengan membawa dalil-dalil kabur, mereka menyebut Sofifi sebagai “ibu kota imajiner.” Entah dari mana datangnya kata itu, dan bagaimana mungkin sebuah nama yang diukir dalam lembaran hukum negara bisa disebut rekaan. Seperti menyebut Proklamasi 1945 sebagai “hanya angan-angan”. Saya kira, ini bukan hanya keliru secara hukum, tapi juga culas secara etika. Narasi ini tidak hanya menyesatkan secara politik, tetapi juga cacat secara konstitusional.
Menganggap Sofifi sebagai ibu kota imajiner karena tidak seutuhnya berkembang secara fisik adalah bentuk ketidakadilan terhadap wilayah yang secara hukum telah disahkan sebagai pusat pemerintahan. Apakah Jakarta menjadi “tidak sah” sebagai ibu kota saat belum punya MRT? Apakah Palangkaraya bukan ibu kota Kalimantan Tengah sebelum istana dibangun di sana?
Komentar