oleh

Cak Imin dan Gugatan atas Trickle Down Effect Mukhtar Adam, Ketua ISNU Maluku Utara

-OPINI-571 Dilihat

Amartya Sen, ekonom India peraih Nobel, menggeser fokus dari pertumbuhan menuju capabilities, menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai ukuran keberhasilan. Sementara Mahbub ul-Haq, pencetus Human Development Index (HDI), secara tegas menolak ide bahwa pertumbuhan otomatis meningkatkan kesejahteraan. Ia menawarkan indikator alternatif yang mengukur kualitas hidup, bukan sekadar output ekonomi.

Namun, meski kritik akademik dan sosial terhadap Trickle Down Effect semakin kuat, wajah kebijakan fiskal dan moneter Indonesia—termasuk dalam APBN—masih mewarisi semangat tersebut. Proyek besar, investasi asing, dan hilirisasi industri kerap dijustifikasi sebagai “strategi” yang akan membawa manfaat ke bawah. Nyatanya, yang menetes ke masyarakat sering kali bukan berkah, melainkan beban.

Baca Juga  Seribu Rupiah, Seribu Pulau, dan Seribu Tanda Tanya

Kepemimpinan Cak Imin, yang dalam guyon khasnya menyebut kader PMII sebagai “penggerak dari bawah”, kini menjadi ujian konkret terhadap retorika anti-Trickle Down. Dalam sejarah panjang melawan Orde Baru, PMII berdiri sebagai simbol gerakan sosial dari akar rumput—bukan dari atas ke bawah, melainkan dari bawah ke atas. Dari akar ke langit.

Baca Juga  Gatot Nurmantio dapat menggantikan Budi Gunawan

Dengan kewenangannya di bidang kesejahteraan, tantangan Cak Imin bukan sekadar merancang program populis, tetapi menjawab apakah inisiatif seperti Sekolah Rakyat hanyalah labelisasi dari model pendidikan gratis berbasis asrama—rebranding dari pesantren ke sekolah rakyat—atau justru upaya radikal mengatasi struktur ketimpangan akses pendidikan dan sosial.

Pertanyaan ini menggema hingga ke ranah ekonomi makro. Hilirisasi nikel di Maluku Utara, misalnya, seharusnya menjadi bukti trickle down dalam praktik. Namun realitas berkata lain. Di pusat-pusat hilirisasi, kemiskinan masih tinggi, harga kebutuhan pokok melambung, dan kelangkaan barang menjadi masalah harian. Investasi memang masuk, tapi manfaatnya lebih banyak tersedot ke kantong korporasi dan elite nasional. Rakyat? Mereka sering kali hanya mendapat bukan remah, tapi reruntuhan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *