Oleh : M.Guntur Alting
“Kematian mengajarkan kehidupan lewat teks biografis yang terpahat pada batu nisan.” (Felix Tani).
——-
SAYA MEMULAI tulisan ini dengan mengucapkan Al-Fatihah dan doa pada tiga sosok perempuan yang saya hormati, Ibu Salma Abdul Karim (Mama Bonda), Ibunda Faujia Abdul Karim (Maade Jia) dan Almarhumah Sadia Alting (Goa Dia) yang telah berpulang “Alhumma laa tahrimnaa ajro-hum, walaa taftinaa ba’da-hum waghfir lanaa walaa-hum”.
Di penghujung 2024 dan awal 2025, saya berkunjung ke beberapa pemakaman secara beruntun, dari pemakaman Ayah saya di Mareku, makam Putri saya (Fira Karimah Alting) di Gowa Makassar, dan pasca Idul fitri di Taman makam Mertua di Sandiego Hill Karawang, Jawa Barat.
Selalu ada hal menarik di kuburan. Itu yang membuat saya selalu tergerak mau berkunjung ke pemakaman. Sebelum suatu hari nanti, saya dan siapa pun yang membaca tulisan ini akan mukim selamanya di sana.
Saya selalu beranggapan pekuburan itu adalah buku pelajaran kehidupan. Dia adalah realitas sosiologis yang dibekukan di ruang publik. Teks-teks sosial yang dipahatkan pada nisan-nisan. Teks-teks sosial pada nisan orang-orang mati itu mengajarkan sejarah kehidupan kepada orang-orang hidup. Dengan satu syarat orang hidup tak menganggap kematian sebagai dunia bawah tanah yang telah selesai.
—-000—-
Untuk siapakah kuburan? Sebetulnya bukan untuk orang mati, melainkan orang hidup, yang dalam tradisi tertentu merasa perlu menghormati yang mati dengan cara selayak-layaknya dengan cara-cara yang telah dikenalnya.
Bagi yang berada pada jalur keyakinan seperti kita yang Muslim, bahwa jenazah itu dikubur, maka kuburan adalah perkara penting, yang sudah mati tak bisa memikirkannya lagi, tetapi bagi yang ditinggalkan kuburan adalah bagian kehidupan.
Kuburan ada bukan sekadar sebagai tempat “menanam mayat”, melainkan untuk menegaskan keberadaan yang ditinggalkan. Apakah mereka telah bersikap layak dan terhormat, bukan saja secara personal terhadap yang dikubur, tetapi juga menghargai tradisi yang telah menjadi rumah jiwa mereka. Maka orang datang berziarah ke kuburan, merawat dan menjaga hubungan dengan kuburan, jelaslah berdasarkan kebutuhan atas keberadaannya sendiri.
Bahwa yang mati katanya “senang kalau dikunjungi”, meskipun tidak terlarang untuk mempercayainya, tentunya tidak pernah bisa dibuktikan secara empiris. Di Jakarta, lebih banyak kuburan tradisional yang semakin lama semakin tak dikunjungi, berbanding terbalik dengan sedikit kuburan moderen yang mendapat beban makna, sehingga selalu dikunjungi seperti tempat untuk berwisata.
Komentar