oleh

Pejuang Terakhir dari Banten KHOLID MIGDAR

-OPINI-841 Dilihat

Oleh Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)


Artikel ini saya tulis saat langit Tangerang
sedang murung. Pagar laut sepanjang 30 km di perairan Tangerang mulai disingkirkan, tapi akar persoalan belum atau tidak akan diungkap. Apakah bambu-bambu dari hutan Banten datang berendam di laut atas kemauan sendiri atau ditanam manusia?

Hujan deras sedang mengguyur Tangerang saat saya menonton video wawancara Uni Lubis dengan Kholid Migdar pada 2 Februari pagi yang sunyi.Kholid adalah nelayan dari Desa Pontang, Tangerang, yang sedang disorot karena kegigihan sikapnya memperjuangkan hak-hak hidup komunitasnya.

Pembebasan  lahan dan pemugaran laut di Tangerang untuk kepentingan oligarki memang sebuah skandal yang menggambarkan betapa rusaknya negeri ini. Semua UU dilanggar untuk membangun perumahan elite bertembok tingg secara eksklusif untuk menegaskan perbedaan mereka dengan kaum miskin di luar sana.

Kholid melawan. Bukan hanya lantaran kelangsungan hidup dia dan komunitasnya terancam, tapi juga dipicu kesadarannya bahwa negeri ini sedang dijalankan secara ugal-ugalan. Pembebasan lahan darat dan pemugaran laut melalui intimidasi dan manipulasi  adalah bentuk arogansi oligarki yang telah mengendalikan negara sejak era Mulyono. Kholid tak terima.

Postur Kholid yang kurus, penuh keringat, dan kaos lusuh beserta atribut-atribut nelayan yang dikenakannya, menunjukkan ia telah sangat lama menderita. Tapi dia gagah. Jiwanya lebih luas ketimbang laut dan pikirannya berkelana hingga jauh. Malam-malamnya dihabiskan untuk memikirkan durjana yang sedang berlangsung.

Setelah perairan Tangerang dipagari para taipan bekerja sama dengan penguasa dalam suatu persekongkolan yang rumit, akses Kholid ke laut menjadi  sulit. Waktu, tenaga, dan modal yang dibutuhkan untuk menjangkau kawanan ikan bertambah banyak untuk hasil yang lebih sedikit. Apakah Republik ini didirikan hanya sebagai kepanjangan tangan kolonial Belanda? Kholid menolak.

Diam-diam dia bergerilya untuk menjelaskan kepada sesama nelayan dan orang sekitar tentang “perampokan” lahan dan mata pencahrian mereka. Tujuannya membangun perlawanan bersama menghadapi kekuasaan yang angkuh sebagaimana aksi yang dilakukan leluhurnya.

Baca Juga  KPK: Kasus Hasto bukan kriminalisasi dan politisasi. KPK tidak usut Kasus Jokowi dan anak2 dan Kroninya. Apa nama?

Walakin, gayung tak bersambut. Kawan-kawannya lebih memilih menderita ketimbang berurusan dengan para penjahat yang bertingkat-tingkat. Ketika masalah ini membesar, Kholid dibujuk dan diintimidasi untuk menyerah. Para mafia mengintimidasi orang-orang terdekat para nelayan untuk menjauhi Kholid, yang mungkin dikatakan sebagai orang sesat.

Pada Kholid, para mafia itu menawarkan Rp 20.000 untuk setiap meter dari jutaan meter laut yang dipugar. Ajaib, Kholid bergeming. Padahal, ia akan menjadi miliarder andaikan  menerima suap itu. Pasalnya, sebagaimana dikatakannya pada Uni Lubis,bangsa ini akan tenggelam bila aturan main diabaikan, rakyat dimarginalkan, dan kemauan oligarki yang rakusterus dilayani rezim kleptokrasi.

Memang fenomena perampasan garis hidup rakyat kecil tidak hanya terjadi di Tangerang, tapi juga di Bekasi, Sidoarjo, dan tempat lain. Ini berbahaya bagi kelangsungan hidup negara hukum. Presiden Prabowo Subianto, setelah isu yang berpotensi mendestabilisasi negara ini menggelinding bak bola salju, mengambil tindakan membongkar pagar laut itu.

Tapi Kholid, sebagaimana para aktivis, belum puas atas aksi “heroik” Prabowo. Soalnya, pelaku pemagaran laut tidak terungkap. Padahal, menurut Kholid, ini isu besar. Bayangkan, laut yang merupakan ruang publik dan dilarang perundang-undangan untuk diprivatisasi, kini memiliki Sertifikat Hak Milik dan Sertifikat Hak Guna Bangunan.  

Siapa pemilik SHM dan SHGB itu? “Hantu”.Sekonyong-konyong Kepala Desa Kohot, Arsin, yang kaya mendadak, mengklaim laut yang dipagari itu dulunya empang. Tapi hasil klaim ini langsung terbantahkan karena sejak 1976 bibir pantai di Tanegrang masih sama seperti sekarang. Klaim Arsin membuat Kholid sakit perut.

Kalaupun benar klaim Arsin, UU menyatakan daratan yang hilang oleh kejadian alam tidak bisa diklaim kepemilikannya. Artinya, daratan yang hilang oleh abrasi, misalnya, otomatis hilang pula kepemilikannya oleh individu atau kelompok. Kholid benar ketika ia menyatakan kalau pelaku pemagaran laut tak diungkap, maka ini akan menjadi preseden buruk. Saya tidak tahu kualifikasi pendidikan Kholid. Tapi dari wawancara itu menunjukkan ia cerdas, yang sadar akan haknya dan kewajiban negara atas rakyatnya.

Baca Juga  Apakah Prabowo, KPK, Polri dan Kejaksaan mau Legalkan Korupsi rezim Jokowi?

Prabowo telah memulai pemerintahan dengan dukungan luas. Program-program populis pemerintah yang menjanjikan kesejahteraan rakyat diapresiasi. Ia juga diyakini dapat memberantas korupsi, dan program kemandirian pangan, energi, dan hilirisasi dianggap sebagai isu fundamental yang, apabila dilakukan secara konsisten, dapat membawa pada Indonesia emas pada 2045.

Kholid salah satu yang punya ekspektasi tinggi pada pemerintahan Prabowo. Tapi janji-jani Prabowo mulai dipertanyakan, terutama terkait dengan penegakan hukum. Kegamangan Prabowo menuntaskan isu pagar laut dengan menyeret pelakunya ke meja hijau hanya meyakinkan kita bahwa Mulyono ada di balik kasus ini. Ini juga yang membuat Kholid ragu pada kapasitas pemerintah.

Mulyono sendiri terkesan “membela” proyek PIK2 – yang oleh Mulyono dijadikan PSN yang dikatakan sudah sesuai dengan hukum. Artinya, kepemilikan laut itu sah secara hukum berpijak pada SHM dan SHGB. Karena pengeluaran SHM dan SHGB menyalahi UU, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional Nusron Wahid memecat beberapa pejabat di kementeriannya.

Tujuannya, lagi-lagi untuk menghentikan kasus  sampai di sini saja. Sayangnya, Kholid makin populerdan makin berani. Argumentasinya yang runut, artikulatif, substansial, dan logis, justru mewakili suara orang tertindas, yang belakangan ini bertambah banyak akibat terlilit masalah sosial-ekonomi.

Andaikan hasil survey Kompas — yang mengukur tingkat kepuasan publik terhadap Prabowo hingga 80 persen – dianggap relative akurat, tidak berarti kebijakan populisme Prabowo telah mencapai target. Legitimasi Prabowo yang menguat (quick win) akibat program-program populis itu bisa merosot dengan cepat bila isu-isu fundamental kenegaraan tidak dibereskan sampai ke akar.

Artikel analisis The Guardian (27/1/2025) bertajuk “Indonesian President Prabowo’s First 100 Days Marked by U-turn, Missteps and Sky-high Popularity” menganggap ini periode paling chaotic (kacau). Pemerintahan Prabowo dinilai inefisien, inkonsisten, tidak disiplin, dan terburu-buru mengeksekusi kebijakan yang masih setengah matang.

Baca Juga  Dari Pesantren Sarang, PPP Dipersatukan

Kesan yang berbeda jauh dari citra kepemimpinan tegas dan disiplin ala militer Prabowo. Di sisi lain, meski preferensi ekonomi Prabowo mulai terlihat, orkestrasi kebijakannya masih samar-samar. Beberapa kebijakan masih bersifat tabrak lari dan sporadik, berorientasi jangka pendek, dan berjalan sendiri-sendiri, belum dijahit secara sistematis dalam satu skema besar.

Populisme ala Prabowo juga menyimpan masalah di kemudian hari. Kebijakan populismenya butuh biaya besar, yang kini sulit dipenuhi APBN. Jika pemerintah gagal mencari sumber penerimaan baru yang jitu, kas negara bisa semakin terkikis. Populisme hari ini bisa jadi mesti dibayar rakyat lewat inflasi dan kenaikan pajak di kemudian hari (Kompas, 1 Februari 2025).

Dalam situasi ini, Prabowo dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, mendengar suara Kholid, yang mewakili nurani banyak orang, untuk konsisten dalam penegakan hukum. Menyeret orang-orang besar, siapa pun itu, akan merupakan quick win Prabowo yang lebih besar baik dari sisi politik, leadership, dan hukum.

Ini akan melahirkan pemerintahan yang efisien, konsisten, dan disiplin, untuk lebih menebalkan legitimasinya sambil mengusir mimpi buruk (nightmare) akibat dikejar-kejar hantu Mulyono.Kedua, abaikan suara orang terzalimi. Tetapi harga politik yang harus dibayar sangat mahal. Apalagi harga politik ini juga beriringan dengan harga ekonomi-sosial yang akan mengikis legitimasi pemerintah.

Sementara, Kholid akan bertransformasi menjadi tokoh idola penyambung lidah rakyat. Bukan hanya rakyat Tangerang, melainkan semua hamba di negeriini yang hak-hak fundamentalnya selalu dipinggirkan sepanjang sejarah. Munculnya keberanian Kholid tak bisa dilepaskan dari janji Prabowo yang akan selalu membela rakyat karena, menurutnya, pahlawan sesungguhnya adalah rakyat (baca: Kholid), bukan Mulyono!

Memang wajah Mulyono mirip rakyat, tapi sesungguhnya ia lebih menyerupai raja-raja primitif.Sebagaimana dikatakan Prabowo, negeri ini memang penuh paradoks. Kita membawa Fufufafa ke Istana, tapi suara nelayan cerdas yang sengsara sejak lahir ditindas. Bisa jadi Kholid kalah dalam perjuangannya. Tapi kekalahan Kholid akan merupakan kekalahan kita semua.

Tangsel, 3 Februari 2025

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *