Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Kita khilaf memilih presiden. Ternyata Presiden Prabowo Subianto bukan pemimpin yang akan membawa kita ke gerbang Indonesia Emas. Prabowo adalah “old wine in a new bottle”. Frasa ini mengacu pada gagasan lama dalam bentuk baru atau diperbarui. Meskipun esensinya sama, kemasannya berubah. Ini berlaku untuk berbagai konteks, termasuk ide, konsep, produk, atau kebijakan yang diberi merek baru agar tampak segar dan inovatif meskipun pada dasarnya tak berubah.
Saya percaya Prabowo adalah tokoh yang Ikhlas sebagaimana dikatakan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Tapi Ikhlas bukan prasyarat primer untuk menjadi capable dalam memimpin negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Ikhlas adalah hati yang lapang untuk menerima semua takdir, bukan kemampuan menerima yang bengkok dan menjustifikasi yang salah. Ikhlas harus tercermin pada tindakan jujur dan objektif meskipun berpotensi merugikan dirinya.
Jika diimplementasikan dalam ranah politik, keikhlasan adalah sikap kenegarawanan pada nilai-nilai luhur bangsa dan negara, serta komitmen tulus dan istiqamah pada amanat penderitaan rakyat, apapun resikonya. Bukan sikap pragmatis untuk menyelematkan diri dengan cara melindungi kriminal atas nama “mikul dhuwur mendem jero” yang out of context. Etika sosial Jawa yang diperkenalkan Presiden Soeharto ini bermotif politik untuk meredam kemarahan simpatisan Presiden Soekarno.
Kita khilaf memilih presiden. Pertama, Prabowo bukan lagi pemimpin yang otentik. Dalam usia 74 tahun — di era disrupsi teknologi yang mengubah semua sendi kehidupan global dan nasional – Prabowo nampak seperti sosok zombi. Kemenangannya dalam pilpres pun merupakan skandal yang diciptakan Mulyono. Tanpa kecurangan kualitatif pilpres berupa keterlibatan aparat negara, fulus oligarki, dan penyalahgunaan bansos, nyaris mustahil Prabowo bisa menang.
Kedua, Prabowo adalah anak kandung Orde Baru. Itu dapat dilihat pada obesitas kabinet yang bertujuan merangkul semua orang dan entitas yang dipandang punya modal sosial, ekonomi, agama, dan politik. Bukan pada kapasitas mereka memimpin portfolio yang diberikan. Dus, omong kosong bahwa Prabowo akan membentuk zaken kabinet atau kabinet yang dipimpin para teknokrat. Kabinet yang sangat boros, inefektif, dan berpotensi melahirkan ramifikasi korupsi ini dibentuk di tengah orkestrasi efisiensi dan pemberantasan korupsi.
Hal lain yang mengindikasikan Prabowo membawa ideologi Orde Baru ke dalam pemerintahannya adalah perekrutan sejumlah menteri/kepala lembaga dari kalangan perwira aktif yang bertentangan dengan UU TNI. Juga, untuk mengontrol lembaga-lembaga hukum, fraksi-fraksi DPR dari Koalisi Indonesia Maju merevisi UU Tata Tertib DPR yang memungkinkannya memberhentikan para pemimpin institusi, seperti KPK, KPU, MA, MK, Panglima TNI, dan Kepala Polri, yang menjungkirbalikkan tatanan demokratis berbasis checks dan balances.
Tapi bukan hanya ideologi Orba, tapi juga ideologi Mulyono yang tanpa ideologi. Dulu Presiden Soeharto juga membiarkan koruptor berkeliaran di pemerintahannya untuk menyandera mereka. Tapi dengan mempertahankan menteri-menteri era Mulyono yang terlilit tipikor, maka propaganda Prabowo memberantas korupsi kehilangan makna. Bukan lantaran ia hendak menyandera mereka, melainkan ia disandera koruptor, yang merupakan kaki tangan Mulyono dan oligarki. Lebih dari itu, mereka adalah pengingat akan bahaya duet Mulyono-oligarki yang sangat ditakuti Prabowo.
Harus diakui, Mulyono adalah orang yang paling mengetahui psikologi Prabowo. Menjadi pembantunyaselama lima tahun membuat Mulyono tahu persis bahwa Prabowo bukan macan Asia, melainkan kucing Indonesia yang dapat diandalkan untuk melindungi keamanan keluarganya, melindungi kepentingan oligarki, dan melanjutkan legasi Proyek Strategis Nasional hasil kesepakatan jahat Mulyono-oligarki. Terlebih, Prabowo akan menjamin penggantinya adalah Fufufafa.
Kita khilaf pilih presiden. Bisa jadi Prabowo cerdas. Tapi dia sudah terlalu tua untuk membawa pemikiran baru guna menjawab tantangan Indonesia kekinian. Ibarat cabang pohon kering, kalau dibengkokan malah akan patah. Efisiensi anggaran yang dilakukan secara serampangan justru menurunkan kinerja pemerintah dari pusat hingga daerah, memukul sektor industri dan jasa, menghilangkan lapangan pekerjaan, memerosotkan daya beli masyarakat, dan memperluas kemiskinan.
Efisiensi itu hasil dari pemikiran begawan ekonomi Orde Baru Prof Soemitro Djojohadikusmo, sekaligus merupakan ayahanda dari Prabowo. Benar pendapat Soemitro bahwa pada era Orde Baru, tak kurang dari 30 persen APBN bocor alias dikorupsi. Ini yang ingin dibabat Prabowo. Namun, Inpres efisiensi anggaran tidak didasarkan pada kajian saintifik dan proporsional sebelum dieksekusi. Akibatnya, yang terjadi adalah kekacauan dan inefisiensi karena kinerja pemerintah anjlok.
Ketiga, Prabowo membiarkan dirinya dililit ular sanca. Bahkan, ia tak risau dibilang kacung Mulyono. Kalau memang tak rela Mulyono diotak-atik, setidaknya kerusakan konstitusional yang dibuat pendahulunya diluruskan kembali. Kebijakan-kebijakan Mulyono yang jahat dan mubazir harus ditinggalkan. Keberlanjutan bukan meneruskan kebijakan jahil, tapi mengembalikan tatanan berbangsa dan bernegara berbasis hukum. Ketidaksukaan kita pada Mulyono bukan pada manusianya, tapi pada pikiran dan kebijakan koruptifnya yang dipelihara Prabowo.
Sungguh kita khilaf pilih presiden. Dus, tak usah berharap pada Prabowo. Ia tak akan menghasilkan apa-apa untuk rakyat, bangsa, dan negara. Bukan karena ia tidak mau, tapi lantaran ia tidak mampu. Memberi makan siang bergizi gratis, menghapus kredit macet petani, nelayan, dan UMKM, memang tindakan muliadan berharga. Kita berterima kasih. Tapi masih banyak isu besar dan fundamental negara yang harus dibenahi. Semua itu butuh dukungan politik rakyat. Sayangnya,modal politik itu tak akan didapat sepanjang Prabowo terus memuliakan Mulyono sebagai guru bangsa, yang membuat kita merasa malu sebagai warga RI.
Tangsel, 13 Februari 2025
Komentar