oleh

Kedai Sembako Tak Berpintu dan Pesan di Secarik Kertas itu : Belajar untuk Saling “Menghargai” [Part 56].

-OPINI-116 Dilihat

Malam ini,untuk yang ketiga kalinya saya mengecek,sekaligus mengingatkan saya tentang pelajaran berharga : jangan apriori,menilai mendahului fakta.

Begini ceritanya,di deretan penjaja kuliner di pelataran Tugulufa,Tidore,ada penjual tahu olahan yang paling di kenal.Kebetulan ada jenis yang di sukai anak saya.Dua malam berturut-turut,kami menyambangi bermaksud membeli tetapi lampunya padam dan tidak ada tanda-tanda “kehidupan” sama sekali sedang berjualan.Kami kembali dan saya punya kesimpulan apriori : kalau sedang tutup,pelanggan harus di beritahu.Saya berpikir,kami juga pelanggannya.

Dan untuk yang ketiga kalinya malam ini,situasinya sama.Saya sengaja mengecek lebih detail,ternyata ada tulisan yang tertempel di dinding kaca : di buka awal agustus.Sontak saya menyesali dalam hati,telah keliru menilai,meski tulisan tadi dari kejauhan tak terbaca karena di kegelapan.Saya berpikir,mereka mungkin sedang kembali ke kampung halamannya di Jawa.
_________________
Terhitung telah berpuluh tahun lalu,kios sembako berdinding papan yang letaknya di samping kanan menghadap ke barat,pasar Sarimalaha di Tidore itu tak punya pintu.Artinya,tak pernah tutup,buka 1×24 jam.Publik Tidore tahu benar,apalagi bagi pembeli yang hendak mencari sesuatu keperluan di dini hari,pasti berpapasan pemiliknya,seorang tua dari Bugis,karena mungkin “shift”nya spesialis dini hari.Saya kenal baik dengan beliau,dan terakhir kami bersua di ramadhan lalu di masjid Al-munawwarah,Ternate,pasca tempat jualan di kawasan tadi di relokasi untuk keperluan pembangun lain oleh pemerintah daerah.Ternyata di masjid baru saya tahu kalau beliau sudah pindah berjualan di kompleks pelabuhan Ahmad Yani,Ternate.Iseng saya bertanya,manajemennya masih tak berpintu lagi,lelaki ini menjawab tidak lagi karena keterbatasan tenaga.
________________
Sudah agak lama,saya sempat bertemu dengan seorang ibu yang berjualan di pasar Sarimalaha,pasca pembangunan kembali karena peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu.Dia terhitung “langganan” saya.Jualannya pakaian jadi yang dominan busana muslim.Saya kaget juga karena cukup lama baru bersua,secara tak sengaja lagi.Maklum,pasca kebakaran saat itu,semua hilang “kontak”.Penjual kehilangan kontak dengan pelanggannya yang cukup lama,yang mungkin juga di sesali dalam hati.Tapi penjual juga tak berdaya,kalau mau menuliskan di potongan kertas untuk memberi tahu alamat baru misalnya,sedang alamatnya saja belum ada karena belum ada lokasi jualan saat itu,dan mungkin karena trauma dengan peristiwa itu,hal-hal begini tak lagi di pikirkan.Saat pamit untuk berlalu,beliau yang juga pendatang ini tak lupa memberi pesan untuk di sampaikan pada siapa saja yang sempat menanyakan tempat jualan barunya saat itu.
_________________
Kedai papan tak berpintu yang buka 1×24 jam,warung tahu olahan yang menuliskan di secarik kertas tentang waktunya kembali buka dan sang ibu pendatang yang berjualan busana muslim yang meminta saya menyampaikan pesannya tadi,adalah para pelaku ekonomi dengan skalanya masing-masing.Orang bisa berdebat tentang macam-macam teori ekonomi yang hebat-hebat tapi tak mudah jadi pelaku ekonomi yang sukses.

Baca Juga  KH.Ghani Kasuba, Lc, Pemimpin, Guru, Orang Tua dan Sahabat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *