Polemik soal system pemilu proporsional terbuka dan tertutup lagi hangat.Dipicu gugatan judicial beberapa anak bangsa ke Mahkamah Konstitusi, nyaris seluruh partai politik dan komponen bangsa pro demokrasi bersuara lantang, tolak ! Kondisi stabilitas politik dan keamanan nasional kembali terancam karenanya.
Para penggugat mendalilkan bahwa, berdasarkan UU Pemilu, peserta pemilu adalah partai politik bukan caleg sehingga system proporsional tertutup yang supremasi partai politik lebih konstitusional dari pada proporsional terbuka yang mengedepankan supremasi kedaulatan rakyat memilih wakil-wakil rakyat.
Oleh Penggugat, pemilu idealnya memilih partai politik dan urusan siapa caleg yang ditetapkan sebagai wakil rakyat adalah domain kewenangan partai politik.
Dalil Mereka ini didukung sebagian begawan Tata Negara seperti Prof Yusril Ihza Mahendra.Logika Yusril, bahwa proporsional tertutup akan memperkuat kaderisasi partai politik yang konsisten dengan idiologi, menutup celah bagi politisi sempalan yang pragmatis.
Sedangkan bagi kubu yang kontra, yang Terkomfirmasi 8 parpol parlemen non PDI P dan para pendukungnya, pemberlakuan kembali system pemilu proporsional tertutup merupakan sikap dan keputusan kemunduran demokrasi.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam kontroversi ini tentu memiliki basis konstitusional dan logika demokrasi masing-masing.
Hemat saya, idealnya proporsional terbuka, dengan pertimbangan logis konstitusional sebagai berikut :
Pertama, Demokrasi merupakan perwujudan kedaulatan rakyat maka partisipasi rakyat dalam system demokrasi adalah syarat mutlak guna dalam rangka menghasilkan kepemimpinan bangsa yang kuat Legitimasi rakyat.Dalam aras demokrasi ini, pemilu sebagai instrumen tunggal demokrasi konsolidasi kepemimpinan nasional membutuhkan partisipasi politik rakyat yang maksimal dan signifikan.Pemberlakuan kembali system pemilu proporsional tertutup potensial mereduksi partisipasi rakyat dalam pemilu sampai pada titik rendah yang secara langsung mengancam kepemimpinan nasional yang lemah legitimasi rakyat nya.
Kedua, pemberlakuan system proporsional terbuka pasca era reformasi merupakan kritik total atas kegagalan rezim orde baru dalam kehidupan demokrasi.Seiring pemberlakuan system demokrasi langsung sebagai spirit demokrasi rakyat, hal mana hanya sesuai dengan system proporsional terbuka.System proporsional tertutup hanya mereduksi peran rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan yang menjadi spirit fundamental diberlakukan nya system pemilu proporsional terbuka.
Sangat rancu, jika pemilu diera reformasi yang terbuka harus kembali melaksanakan spirit pemilu orde baru yang tertutup.Sebagai negara yang menganut system demokrasi langsung, system pemilu harus sejalan dan seirama dengan perkembangan spirit rakyat nya.
Ke tiga, system proporsional terbuka tidak bertentangan dengan konstitusi, pada saat yang sama bisa menjamin penguatan system demokrasi dan keberlangsungan politik nasional.Reformasi system pemilu ditengah proses tahapan pemilu yang sedang berjalan dikhawatirkan menimbulkan choas yang mengganggu stabilitas dan keamanan nasional yang berimplikasi logis dan serius pada pada potensi gagalnya pelaksanaan pemilu tahun 2024.Pada aras ini, fiqih siasah sebagai salah satu azaz hukum nasional harus dikedepankan yakni meraih keselamatan lebih utama dari pada mengejar pahala dalam keadan bahaya.
Ke empat, gugatan judicial review tidak pada timingnya, mengingat proses dan tahapan pemilu telah berjalan sampai pada tahapan pendaftaran pencalegkan ke KPU.Pertanyaan nya, apakah seorang caleg harus melalui dua mekanisme yang diametrikal dalam satu pemilu ?jawabnya tentu sangat rancu dan menimbulkan bahaya.Kita tidak bisa membayangkan, ketika MK memutuskan system proporsional tertutup lalu memicu sikap pengunduran diri sebagian calon legislatif mulai dari urut 3 yang jumlah prosentasinya mencapai rata-rata 80% bakal caleg.Pemilu gagal dengan sendirinya.Pemilu tidak bisa digelar karena bertentangan dengan UU pemilu dan PKPU dimana didalamnya mewajibkan kuota caleg 30% dari kuota kursi setiap daerah pemilihan.
Ke lima, system proporsional terbuka tidak otomatis mematikan peran partai politik.Bukankan caleg yang terpilih nanti adalah anggota fraksi partai bukan fraksi perorangan ?.
Dalam syatem proporsional terbuka, peran partai politik masih sangat kuat terhadap kader-kader nya di parlemen.Terbukti, tidak sedikit kader partai politik di parlemen yang dipecat dan dicopot ke anggotanya oleh partai politik karena dinilai tidak tunduk dalam menjalankan police partai politik, walaupun sikapnya berdasarkan aspirasi rakyat yang diwakili nya atau memilihnya.Kedudukan partai politik lemahnya dimana ?
Dalam logika ini, premis bahwa system proporsional tertutup akan memperkuat peran partai politik dan sebaliknya system proporsional terbuka melemahkan peran partai politik terbantahkan dengan sendirinya.
Bahwa logis dan konstitusional, pemilu adalah dalam rangka memilih wakil rakyat, bukan wakil partai maka proporsional terbuka merupakan pilihan ideal dan konstitusional, namun pada saat yang sama, tetap menjamin independensi partai politik dalam setiap sikap dan kebijakan partai politik dimana parpol masih sangat kuat atas kontrol terhadap wakil-wakil rakyat atau anggota legislativ nya.
Penggugat dan MK harus memahami bahwa, dalam negara hukum, azaz yang dominan adalah azaz kepastian hukum , bahwa setiap warga negara harus dijamin kepastian hukum dan system dalam menjalankan hak dan kewajibannya.Mendaftar sebagai caleg dalam system proporsional terbuka kemudian berproses selanjutnya melalui mekanisme proporsional tertutup hemat saya bertentangan dengan azaz kepastian hukum atau system itu sendiri .
Komentar