Om Nen dan Kisah Para Haji : Ikhtiar “Meraba” Hakikatnya. (Part.50.)
Anwar Husen/Kolomnis Tetap/tinggal di Tidore.
Kisah seorang calon yang akan berangkat haji ketika itu.Jauh berpuluh tahun lalu di sebuah kampung kecil yang letaknya agak di ketinggian,berjarak dari kampung-kampung di pesisir.Sebut saja,om Nen,nama rekaan untuk menyamarkan sosok dan latar sosiologisnya.Jauh ketika telah merebak kabar bahwa om Nen akan berangkat haji,suasana kampung seperti terangkat “derajat”nya.Saban hari orang bercakap dengan tema relatif sama,om Nen akan ke tanah suci.Maklum,berhaji ketika itu bukan pekerjaan mudah.Syarat berhaji sudah pasti di penuhi tetapi cara dan upaya “memenuhi”nya yang mungkin bisa berbeda.Tak seperti saat ini,jaman android,jenis transportasi yang di gunakan hingga akomodasi dan jenis layanan lainnya serba “terukur”,syaratnya relatif hanya satu : punya uang yang cukup,yang di jaman om Nen,bukan satu-satunya syarat.
Ketika saatnya tiba,warga seantero kampung “melepas” om Nen yang akan menunaikan rukun Islam yang ke-5 itu,bak sebuah seremoni “perpisahan”,emosi warga berbaur jadi satu,nyaris seolah om Nen,satu-satunya warga mereka yang berhaji ketika itu,adalah martabat,harga diri,bahkan ukuran religiusitas mereka.
Yang menonjol dari “performance” keseharian om Nen setelah kembali dari berhaji,yang di sambut suka cita dan hujan air mata itu,ternyata makin “pribadi”.Hari-harinya di isi aktifitas yang “monoton”,pagi ke kebun,jelang Dhuhur kembali ke rumah,ibadah,bersantap dan istirahat.Malamnya sama,pintu rumah di kunci usai Magrib dan Isya.Sesekali jika ada undangan [koro],om Nen mengenakan nyaris lengkap aksesoris hajinya,di beri tempat “terhormat” di depan dan bersantap di tempat khusus bersama para “tokoh” kampung.Warga kampung menerima fakta keseharian om haji Nen ini sebagai “sudah seharusnya” begitu,tidak ada yang “salah”,malah di sanjungi.
___________________
Di sebuah postingan Facebook sekitar 2 tahun lalu yang saya baca,seseorang yang baru kembali berhaji,mengingatkan para haji.Mungkin dia adalah koordinator regunya,seperti itu kesan.Para haji di wanti-wanti untuk terus menghidupkan amalan-amalan yang di sebutnya satu persatu,yang kesemuanya bernuasa “pribadi”,bukan sosial.Mulai dari sholat wajib,macam-macam sholat sunnah hingga berbagi jenis zikir.Tak ada pesan menyantuni kaum fakir,peduli dengan tetangga dan lingkungan yang berkekurangan,infaq dan sadakah hingga anjuran berqurban di momentum Idul Adha,misalnya.
__________________
Di sebuah acara “doa selamatan” haji di Tidore,seorang karib berbagi cerita tentang dua sosok yang kami kenal,berangkat haji tanpa “ribut”,diam-diam.Relatif tak terdengar informasinya padahal mereka mantan pejabat dan kerabat kami dulu,tak ada doa selamatan “wah”.Yang sempat saya tahu karena salah satu dari mereka,saya mendapatkan sebuah amplop berisi pernyataan “siloloa” [pemakluman] dan permohonan maaf.Hingga kembali dari berhaji,yang sempat teramati,nyaris tak ada perubahan ” aksesories” layaknya om Nen tadi.Semuanya terkesan “biasa-biasa” saja.Aktifitas sebagai guru pada sebuah sekolah menengah bagi salah satunya dan aktifitas sebagai pengelola sebuah pesantren terkenal di Tidore bagi mantan pejabat ini,berjalan biasa saja.Banyak yang kaget ketika mengetahui kalau mereka telah berhaji.
Beda dengan saya,mungkin sering mengenakan baju koko dan songkok “haji”,jenis songkok lipat kecil tapi berwarna bukan putih,tak terhitung yang menyapa haji.Meski dengan sedikit terkesan “geli” dan rada lucu,saya meresponnya datar saja dan sembari berharap ada makna doa dari sapaan itu bagi saya,aamiin.
__________________
Di setiap masuk bulan haji,sering ada share di media sosial,kisah mimpinya Syeik Abu Abdurrahman Abdulllah bin Al-Mubarak Al Hanzhali Al Marwazi,seorang ulama terkenal di Makkah tentang seorang tukang sol sepatu di kota Damsyiq [Damaskus],Syeik Sa’id bin Muhafah,yang terlihat dalam mimpi di sebut oleh malaikat,”haji”nya di terima padahal dia gagal berhaji di sebabkan menyedekahkan biaya hajinya buat makan seorang nenek tua beserta anaknya yang kelaparan.Trenyuh,sebagian biaya itu di sisihkannya puluhan tahun dari hasil kerja sol sepatu ini.Hikmah dari kisah ini : membantu orang di sekitar kita di ganjar setara pahala haji.
Di lain tulisan yang terbaca,gelar yang biasa di sematkan pada nama setelah berhaji,di awalnya,di maksudkan oleh pemerintah kolonial belanda sebagai “strategi” mempermudah identifikasi setiap orang yang baru kembali berhaji setelah melalui karantina tertentu,terhadap penyebaran paham tertentu yang bisa mengganggu otoritas dan kuasa mereka ketika itu,entahlah.
__________________
Ketika mengingat pertanyaan teman tentang kampung-kampung mana saja di Tidore yang tahun ini belum ada calon hajinya,saya mengingat sebuah tulisan Emha Ainun Nadjib,memberi panduan menakar derajat maslahat haji secara fungsional : kampung yang lebih banyak hajinya harus lebih baik dari yang sedikit atau bahkan tidak sama sekalinya.Pesan ini di maksudkan bahwa predikat ini secara fungsional harus menjadi “agen of change” bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.Makin besar eskalasi “pelanggaran” nilai di sekitarnya,makin besar tanggungjawab yang di “minta” padanya.Entah itu maksudnya atau bukan,khierarki yang tertulis di Rukun Islam yang lima itu,seperti ada logika dari “kecil” kemudian “membesar”,dari privat ke sosial hingga dhohir ke bathin : mulai dari konsekwensi Syahadat,yang sangat “pribadi” hingga berhaji sebagai perlambang universalitas hingga tanggungjawab Ummah.
Pagi tadi di sebuah WAG,seorang karib mengutip Ali Syariati yang terkenal dengan karangan Al Hajj-nya : Mengapa puncak haji justeru di Arafah,tanah yang berada di luar tanah haram?Agar orang mengenal dirinya dulu sebelum menghampiri Tuhannya.
Mengenal diri,tentu tak selalu di maksudkan sebagai diri dhohir.Kenal diri adalah kenal “cikal bakal”,susunan dan rangkaian hingga “persinggungan”nya dengan sang Rabb,sebuah “pengetahuan” yang mungkin,tak cukup di mengerti dengan buku “teks” biasa,tentang makna,yang semoga tidak,di pahami oleh om Nen tadi.
Selamat berwukuf,selamat hari raya Idul Qurban,maaf lahir dan bathin.Wallahua’lam.