Beberapa waktu lalu ketika ada media yang merilis data BPS Maluku Utara di penghujung tahun 2022 soal tingkat kemiskinan warga yang tinggi di beberapa kabupaten di Maluku Utara,yang kebetulan di wilayah-wilayah itu bercokol beberapa perusahaan pertambangan skala besar.Sontak terjadi perdebatan “panas” di beberapa WAG yang anggotanya saya anggap representatif dan punya cukup “kapasitas” membedahnya.Kebetulan saya salah satu anggotanya.
Biasalah,hal pertama yang jadi materi debat adalah siapa pihak yang di anggap paling bertanggungjawab atau kasarnya,bersalah.ada yang menyalahkan perusahaan-perusahaan itu,tetapi banyak juga yang menganggap kepala daerahnya yang paling bertanggungjawab.
Apapun itu,yang pasti bahwa pimpinan perusahaan-perusahaan tambang itu bukan kepala daerah tetapi mereka berinvestasi di daerah.Paing umum,dia hanya bertanggungjawab terhadap karyawannya dalam bentuk perjanjian kerja,penggajian dan hak-hak lain serta tanggungjawab sosial lain yang telah di atur oleh regulasi di bidang itu bagi warga lingkar tambang dan juga hak daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH).
Para kepala daerah itu yang punya warga dan punya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang di susun dan di formulasikan dalam bentuk kebijakan untuk membuat warganya menjadi sejahtera.itu saja.soal bahwa harus ada bentuk tanggungjawab “tambahan” lain di luar regulasi resmi,terserah kemampuan tiap kepala daerah bagaimana “menggarap”nya dan bagaimana peluangnya.
Komentar